BIROKRASI MATARAM ISLAM
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI
TUGAS MATAKULIAH
Sejarah
Ketatanegaraan RI
Yang dibina oleh Bpk.
Marsudi, M.hum
Oleh
Muhamad Sufyan
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
PROGRAM STUDI S1 ILMU SEJARAH
September 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada
abad ke -16 di pulau Jawa terdapat beberapa kerajaan, seperti : Majapahit,
Demak, Pajang, Banten, Cirebon dan Mataram-Islam. Sedangkan agama Islam yang
berkembang secara berangsur-angsur berpengaruh pada terjadinya proses transisi
dari kekuasan Indonesia-Hindu dan Budha menuju ke Indonesia-Islam. Terjadinya
proses transisi yang demikian berpengaruh pada kehidupan politik, sosial dan
ekonomi.
Sutawijaya
menjabat sebagai raja pertama di Mataram (1589-1601) dengan gelar Panembahan
Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama. Pada masa pemerintahannya, banyak
terjadi perlawanan dari para bupati yang semula tunduk pada Mataram, misalnya
Demak dan Pajang. Perlawanan juga datang dari daerah Surabaya, Madiun, Gresik,
dan Ponorogo. Terjadinya perlawanan-perlawanan ini dikarenakan Senopati
mengangkat dirinya sendiri sebagai sultan di Mataram. Padahal pengangakatan dan
pengesahan sebagai sultan di Jawa biasanya dilakukan oleh wali. Selama
berkuasa, hampir seluruh wilayah Pulau Jawa dapat dikuasainya. Akan tetapi, ia
tidak berhasil mendapatkan pengakuan dari raja-raja Jawa lain sebagai raja yang
sejajar dengan mereka. Sepeninggal Panembahan Senopati, penggantinya adalah
putranya, Raden Mas Jolang (1601-1613).
Pada
masa pemerintahannya ia melanjutkan usaha ayahnya meluaskan wilayah kekuasaan
Mataram. Akan tetapi, ia tidak sekuat ayahnya sehingga tidak mampu memperluas
wilayahnya dan wafat di daerah Krapyak. Oleh karena itu, ia diberi gelar
Panembahan Seda Krapyak. Pengganti Mas Jolang adalah putranya Mas Rangsang atau
Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645). Ia bergelar Sultan Agung Senopati Ing
Alaga Sayidin Panatagama. Pada masa pemerintahannya, Mataram mencapai puncak
kejayaan. Sultan Agung berusaha menyatukan Pulau Jawa. Mataram berhasil
menundukkan Tuban dan Pasuruan (1619), Surabaya (1625), dan Blambangan (1639).
Hasil ekspansi ini membuat wilayah Mataram semakin luas.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
saja yang mempengaruhi wilayah – wialayah birokrasi ?
2. Bagaimana
sistem pemerintahan yang di terapkan pada Mataram Islam ?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah agar kita dapat mengetahui tentang Birokrasi
pada masa mataram islam.
D.
Manfaat
Penulisan
Manfaat yang dapat
diambil dari penulisan ini ialah :
1. Memberikan
wawasan dan pengetahuan tentang Birokrasi Mataram Islam.
2. Memberikan
wawasan dan pengetahuan tentang bagaimana cara pemerintahan mataram islam.
3. Memberikan
pengetahuan tentang upaya yang dilakukan oleh para pembentuk di dalam
birokrasinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Wilayah Kerajaan Mataram Islam
Ketika
kerajaan Mataram Islam dierintah oleh Sultan Agung (1613-1645), wilayah
kekuasaan meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian Jawa Barat. Kemudian
wilayah kerajaan dibagi menjadi :
1. Wilayah Pusat,
dibagi menjadi dua yaitu :
·
Kutanegara atau Kutagara sebagai pusat
pemerintahan dengan pusatnya adalah istana atau keraton yang berkedudukan di
ibukota kerajaan.
·
Negara Agung, merupakan wilayah yang
mengitari Kutanegara atau Kutagara. Menurut Serat Pustaka Raja Purwa, wilayah
Negara agung di bagi menjadi empat bagian, yaitu daerah Kedu, Siti Ageng atau
Bumi Gede, Bagelen dan Pajang. Pada jaman pemerintahan Sultan Agung,
masing-masing daerah dibagi menjadi dua :
Ø Untuk
daerah Kedu dibagi menjadi Siti Bumi dan Bumijo yang terletak disebelah barat
dan timur sungai Progo.
Ø Daerah
Siti Ageng, dibagi lagi menjadi daerah Siti Ageng Kiwa dan Siti Ageng Tengen.
Ø Daerah
Bagelen, dibagi menjadi daerah Sewu yang terletak diantara sungai Bogowonto dan
Sungai Donan di Cilacap. Daerah Numbak Anyar diantara sungai Bogowonto dan
sungai Progo.
Ø Daerah
Pajang, dibagi menjadi Panumpin yang meliputi daerah Sukowati dan daerah
Panekar yaitu di Pajang.
2. Wilayah Daerah
disebut Mancanegara, terdapat diluar
wilayah Negara Agung, tetapi tidak termasuk daerah pantai. Mancanegara meliputi
Jawa Tengah dan Jawa Timur, sehingga dibagi menjadi Mancanegara Timur
(Mancanegara Wetan) dan Mancanegara Barat
(Mancanegara Kilen). Sedangkan wilayah kerajaan yang terletak ditepi
pantai disebut Pasisiran yang kemudian dibagi lagi menjadi Pesisir Timur
(Pasisiran Wetan) dan Pesisir Barat (Pasisiran Kilen). Sebagai batas kedua
daerah pasisiran adalah sungai Tedunan atau sungai Serang yang mengalir di
antara Demak dan Jepara.
Setelah
pengaruh VOC Belanda masuk ke kerajaan Mataram Islam maka pada abad ke -18
terjadi perubahan wilayah kerajaan. Hal ini terjadi setelah VOC Belanda ikut
campur tangan terhadap pemerintahan, sehingga terjadi pertentangan dan perang
saudara antar keluarga raja. Sebagai imbalan atas bantuan menyelesaikan
pertentangan, maka VOC dapat menguasai daerah-daerah kekuasaan kerajaan Mataram
Islam.
Setelah
Perang Trunojoyo berakhir (1678) maka Mataram Islam harus menyerahkan daerah
Karawang, sebagian daerah Priangan dan Semarang. Pada tahun 1705 Mataram harus
menyerahkan sisa daerah Priangan dan setengah bagian timur pulau Madura kepada
VOC Belanda. Pantai utara Jawa dan seluruh pulau Madura kemudian diserahkan
lagi oleh Mataram Islam kepada VOC Belanda sebagai imbalan atas jasanya
menyelesaikan Perang Cina (1743). Pada perjanjian Gianti (1755) Mataram Islam
oleh VOC Belanda dipecah lagi menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Sedangkan
antara tahun 1757 dan 1813, oleh VOC Belanda wilayah Surakarta dipecah lagi
menjadi Mangkunegaran dan wilayah Yogyakarta dipecah menjadi Pakualaman.
Pada
masa pepmerintahan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels (1808-1811) terjadi
perubahan lagi. Di mana pada peraturan baru pada upacara penerimaan Residen di
istana Surakarta dan istana Yogyakarta, Residen harus dihormati didua kerajaan
tersebut sebagai wakil pemerintah Belanda serta kedudukannya sejajar dengan
raja. Peraturan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels dapat diterima oleh
istana Surakarta, tetapi ditolak oleh istana Yogykarta, sehingga Sultan
Hamengkubuwono II pada tahun 1810 diturunkan secara paksa melalui ekpedisi
militer yang dipimpin oleh Gubernur Jendral Herman Willem Daendels sendiri.
Ketika
Inggris berhasil merebut kekuasaan Belanda di Jawa pada tahun 1812, Sultan
Hamengkubuwono II bersama-sama Sunan Surakarta menentang kekuasaan Inggris.
Melalui ekspedisi militer, maka Inggris berhasil memaksa dua orang raja
tersebut turun tahta dan menandatangani perjanjian pada tanggal 1 Agutus 1812.
Dengan demikian Mataram Islam harus kehilangan wilayahnya lagi seperti : Kedu,
sebagian Semarang, Rembang dan Surabaya diserahkan pada Inggris. Setelah Perang
Diponegoro, wilayah kerajaan Mataram menjadi tambah sempit yaitu hanya Pajang,
Mataram, Sukowati dan Gunung Kidul.
B. Raja dan Bangsawan
Raja
merupakan sentral yang memiliki kekuasaan didalam wilayah negara. Legelitas
kedudukan dan kekuasaan diperoleh secara turun temurun atau warisan tradisi.
Kecuali pada Panembahan Senopati yang pada tahun 1575 memperoleh kedudukan dan
kekuasaan karena didasarkan pada kharisma serta memiliki kelebihan pada
kemampuan kepribadiannya. Proses pengangkatan raja baru didasarkan pada
keturunan yang memiliki hak waris, yang menurut tradisi istana adalah putra
laki-laki tertua dari raja dengan pemaisuri (garwa padmi). Akan tetai jika
tidak ada, maka putra laki-laki tertua dari istri selir (garwa ampeyan) dapat
diangkat sebagai pengganti raja. Namun apabila diantara keduanya tidak ada,
maka saudara laki-laki, paman atau saudara laki-laki tertua dari ayah dapat
diangkat sebagai pengganti raja. Penyimpangan pengangkatan raja dapat terjadi, jika
calon yang berhak tidak memenuhi syarat-syarat sebagai raja, seperti sakit
ingatan atau cacat badan. Pemakaian gelar raja pada kerajaan Mataram-Islam
yaitu: Panembahan, Susuhunan (Sunan), dan Sultan.
C. Birokrasi
Struktur
birokrasi kerajaan Mataram_islam berdasarkan pada jabatan-jabatan yang disusun
secara hierarkhis mengikuti sistim pembagian wilayah kerajaan. Sistim
pemerintahan dibedakan menjadi :
1.
Pemerintahan
Dalam Istana ( Peprintahan Lebet )
Untuk
mengurusi pemerintahan dalam istana diserahkan pada empat orang pejabat Wedana
Dalam (Wedana Lebet) yang terdiri dari Wedana Gedong Kiwa, Wedana Gedong
Tengen, Wedana Keparak Kiwa, dan Wedana Keparak Tengen. Adapun tugas Wedana
Gedong adalah mengurusi masalah keuangan dan perbendaharaan istana, sedangkan
tugas Wedana Keparak adalah mengurus keprajuritan dan pengadilan. Gelar yang
digunakan oleh para wedana biasanya Tumenggung atau Pangeran jika pejabat
tersebut keturunan raja. Masing-masign wedana lebet ini dibantu oleh seorang
kliwon yang sering juga disebut sebagai Papatih atau Lurah Carik dengan memakai
gelar Ngabehi. Dibawahnya lagi terdapat Kebayan dan 40 orang Mantri Jajar.
Sebelum
tahun 1744 diatas jabatan wedana terdapat jabatan Patih Dalam (Patih Lebet)
dengan tugas untuk mengkoordinasikan wedana-wedana tersebut. Namun sejak tahun
1755 jabatan Patih Dalam (Patih Lebet) dihapus.
Pemerintahan
di Kutagara diurusi oleh dua orang Tumenggung yang langsung dibawah perintah
raja. Kedudukan Tumenggung bersama empat Wedana Lebet cukup penting, yaitu
sebagai anggota Dewan Tertinggi Kerajaan. Berbeda dengan Kartasura yang pada
tahun 1744 menugaskan 4 orang pejabat untuk mengurusi daerah Kutagara, dimana
salah satu diantaranya diangkat sebagai kepala.
Wilayah
Negara Agung termasuk bagian dari pusat kerajaan, dimana pada tiap-tiap daerah
dipimpin oleh Wedana Luar (Wedana Jawi). Sehingga sesuai dengan nama daerh
masing-masing maka terdapat sebutan : Wedana Bumi, Wedana Bumija, Wedana Sewu,
Wedana Numbak Anyar, Wedana Siti Ageng Kiwa, Wedana Siti Ageng Tengen, Wedana
Panumping dan Wedana Panekar. Para wedana ini juga dibantu oleh Kliwon, Kebayan
dan 40 orang Mantra Jajar. Sedangkan yang mengkoordinasi para wedana ini adalah
seorang Patih Luar (Patih Jawi) dengan tugas mengurusi wilayah Negara Agung dan
Wilayah Daerah (Mancanegara). Sedangkan ditanah-tanah lungguh ini para
bangsawan mengangkat seorang Demang atau Kayi Lurah.
2.
Pemerintahan
Luar Istana (Peprintahan Jawi)
Tugas
pemerintahan luar istana adalah mengurusi daerah-daerah diwilayah mancanegara
baik Mancanegara Timur (Mancanegara Wetan) maupun Mancanegara Barat
(Mancanegara Kilen). Untuk mengurusi daerah mancanegara ini, maka raja
mengangkat Bupati yang dipimpin oleh Wedana Bupati. Adapun tugas Wedana Bupati
adalah mengkoordinasi dan mengawasi semua bupati-bupati yang menjadi kepala
daerah masing-masing, serta bertanggungjawab langsung kepada raja atas
pemerintahan daerah dan kelancaran pengumpulan hasil-hasil daerah yang harus
diserahkan pada pusat.
Sedangkan
pada daerah pesisir, seperti Pesisir Timur (Pesisiran Wetan) dipimpin oleh
Wedana Bupati yang berkedudukan di Jepara, dan Pesisir Barat (Pesisiran Kilen)
dipimpin oleh Wedana Bupati yang berkedudukan di Tegal.
Dalam
bidang kemiliteran (keprajuritan) disusun gelar kepangkatan secara hierarkhis
dari atas ke bawah seperti : Senapati, Panji, Lurah, dan Bekel Prajurit. Selain
itu juga terdapat petugas mata-mata (telik sandi) dan semacam petugas
kepolisian untuk menjaga keamanan keamanan umum dalam kerajaan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahwa
kerajaan mataram khususnya islam mempunyai peranan penting, salah satunya
birokrasi yang terjadi pada abad ke-16 yang menjadikan sistem pemerintah pada
masa mataram islam bisa berkembang.
B. Saran
Demikianlah
makalah ini kami persembahkan dan hanya sebatas inilah kemampuan penulis
menyusun makalah. Semoga para pembaca terutama dosen dapat mengambil manfaat
dari makalah ini.
Saran
dan kritiknya yang sifatnya membangun dari semua pihak terutama teman
seperjuangan di perguruan tinggi Universitas Negeri Malang serta dari dosen
yang sangat harapkan, dan semoga makalah ini memberi manfaat yang sangat
banyak.
Daftar Rujukan
Marwati.Nugroho.1993.
Sejarah Nasional Indonesia IV.Jakarta:Balai
Pustaka.
Sejarahkabupatenmadiun,1980,
http:/satriotomo-blogspot.com/2011/11/madiun-dalam-palihan-nagari-mataram.html.
Diakses pada hari selasa,1 September 2015.