Thursday 24 September 2015

Makalah Perkembangan Pelabuhan Sunda Kelapa



BAB I
PENDAULUAN
1.1              Latar Belakang
Sejak abad IV nama Sunda Kelapa sudah dikenal sebagai kota pelabuhan.. Menurut naskah-naskah kuno, nama bandar ini adalah Kalapa, tetapi para pelaut Portugis menyebutnya Sunda Kelapa. Letaknya di Teluk Jakarta, terlindung oleh pulau-pulau dalam gugusan Kepulauan Seribu. Secara alamiah, keadaan ini amat menguntungkan untuk sebuah bandar. Kapal-kapal dapat berlabuh dengan tenang dan aman. Selain itu, posisinya yang berada di muara sungai amat strategis, karena dapat mempercepat hubungan pelayaran serta perdagangan antara daerah pesisir dan pedalaman, sedangkan nama pelabuhan Sunda Kelapa sudah terdengar sejak abad  ke-12 sebagai pelabuhan lada.
Pada 1526, Sunda Kelapa dikuasai oleh Kerajaan Demak-Cirebon yang sebelumnya telah menduduki Banten. Pada masa itu namanya menjadi Jayakarta. Kedudukannya sebagai bandar terbesar dan terpenting perlahan-lahan mulai memudar karena digantikan oleh Banten. Secara politis maupun ekonomis, peranan bandar ini pun menjadi tenggelam, namun tetap diperhitungkan sebagai daerah penyangga Banten. Pelabuhan ini tetap disinggahi kapal yang membutuhkan bahan makanan dan air minum.
pada 21 Agustus 1522 diadakan perjanjian persahabatan kerajaan Sunda dengan kerajaan portugal. Perjanjian internasional inilah pertama yang ada di Indonesia, sebagai tanda perjanjian tersebut. Sebuah batu besar yang disebut padrao yang ditanam di pantai. Keadaan pelabuhan ini menjadi hidup kembali saat VOC menguasai bandar ini. Setelah melihat tempat-tempat yang tepat sebagai titik temu kegiatan perdagangan di Asia, dari Koromandel sampai Cina, perusahaan dagang Belanda ini menjatuhkan pilihan ke Jayakarta. Maka pada 1619 , Jayakarta berubah menjadi Batavia. Di tempat ini kemudian dibangun pusat militer dan administrasi VOC. Sejak itu, Batavia menjadi kota pelabuhan yang berkembang pesat dan dihuni puluhan ribu orang dari berbagai bangsa. Tipologi asitektur dan bahasa perancangan model Eropa yang memiliki empat musim dicangkokkan langsung kawasan tropis di Indonesia. Bangunan-bangunan yang memiliki tipologi ini antara lain adalah pos-pos perdagangan, benteng militer, dan kota yang dilindungi oleh benteng.

1.2    Rumusan Masalah
1.    Bagaimana seajarah dan perkembangan pelabuhan Sunda Kalapa pada abad  XVI-XIX?
2.    Bagaimana pengaruh pelabuhan Sunda Kalapa terhadap Batavia?

1.3    Tujuan Penulisan Makalah
1.    Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan pelabuhan Sunda Kalapa.
2.    Untuk mengetahui Pengaruh pelabuhan Sunda Kalapa terhadap Batavia.



BAB II
PEMBAHASAN

2.2 Sejarah dan Perkembangan Pelabuhan Sunda Kelapa Abad XVI-XIX
Nama Pelabuhan Sunda Kelapa sudah terdengar sejak abad  ke-12. Pada masa itu pelabuhan ini sudah dikenal sebagai pelabuhan lada. Para pedagang nusantara kerap singgah di Sunda Kalapa di antaranya berasal dari Palembang, Tanjungpura, Malaka, Makasar dan Madura dan bahkan kapal-kapal asing dari Cina Selatan, Gujarat, dan Arab sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kemenyan, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan lada dan rempah-rempah yang menjadi komoditas unggulan pada saat itu. Para pelaut Cina menyebut Sunda Kalapa dengan nama Kota Ye-cheng yang berarti kota Kelapa.
Pada awalnya pelabuhan Sunda Kelapa merupakan wilayah dari kerajaan Sunda (Pajajaran ). Dimana potendi pelabuhan Sunda Kelapa merupakan sumber income bagi wilayah setempat, yaitu kerajaan Sunda (Pajajran). Pada kerajaan nusantara di wilayah lain timbul keinginan untuk menguasai pelabuhan tersebut. Kerajaan Demak yang dipimpin oleh Fatahillah mengerahkan armada kapal lautnya dan berhasil merebut Sunda Kelapa, yang kemudian berganti nama Jayakarta (22 Juni 1527) yang bermakna kemenangan gemilang (Pramono, 2005: 79). Pada dasarnya Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan pelabuhan yang tidak persis berada di tepian pantai (open sea port), tetapi masuk muara sungai ciliwung.
Sungainya memungkinkan untuk dimasuki 10 buah kapal dagang yang mempunyai kapasitas 100 ton. Sungai ciliwung airnya mengalir bebas tidak berlumpur dan tenang (Laporan Jurnalistik Kompas,2009: 88-89).
Hubungan pelabuhan Sunda Kelapa dengan bangsa Eropa dimulai ketika Portugis di bawah pimpinan de Alvin tiba pertama kali di Sunda Kelapa dengan armada empat buah kapal pada tahun 1513, sekitar dua tahun setelah menaklukkan Malaka. Mereka datang untuk mencari peluang perdagangan rempah-rempah dengan dunia barat. Karena dari Malaka mereka mendengar kabar bahwa Sunda Kalapa merupakan pelabuhan lada yang utama di kawasan ini. Menurut catatan perjalanan Tome Pires pada masa itu Sunda Kalapa merupakan pelabuhan yang sibuk namun diatur dengan baik.
Beberapa tahun kemudian Portugis datang kembali dibawah pimpinan Enrique Leme dengan membawa hadiah bagi Raja Pajajaran. Portugis melihat posisi Sunda Kalapa strategis sebagai pelabuhan dagang dan tempat transit bagi kapal-kapal dagang Portugis. Portugis mengadakan perjanjian dengan penguasa setempat untuk mendirikan benteng atau pos dagang. Mereka diterima dengan baik dan pada tanggal 21 Agustus 1522 ditandatangani perjanjian antara Portugis dan Kerajaan Sunda Pajajaran. Perjanjian tersebut diabadikan pada prasasti batu Padrao. Dengan perjanjian tersebut Portugis berhak membangun pos dagang dan benteng di Sunda Kalapa. Pajajaran berharap Portugis dapat membantu menghadapi serangan kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak dan Cirebon seiring dengan menguatnya pengaruh Islam di Pulau Jawa yang mengancam keberadaan kerajaan Hindu Sunda Pajajaran.
Padrao Sunda KelapaKeterangan:
Simbol Lambang penemuan dunia baru Portugis (The symbol of discovery of the world) dalam prasasti pradao. Digunakan oleh Raja Portugal Manuel 1495 – 1521.   Pada tahun 1527 saat armada kapal Portugis kembali di bawah pimpinan Francesco de Sa dengan persiapan untuk membangun benteng di Sunda Kalapa, namun ternyata gabungan kekuatan Muslim Cirebon dan Demak berjumlah 1.452 prajurit di bawah pimpinan Fatahillah, sudah menguasai Sunda Kelapa. Sehingga pada saat berlabuh Portugis diserang dan berhasil dikalahkan. Atas kemenangannya terhadap Kerajaan Pajajaran dan Portugis, pada tanggal 22 Juni 1527 Fatahillah mengganti nama kota pelabuhan Sunda Kalapa menjadi Jayakarta yang berarti “kmenangan gemilang”.
Pada 13 November 1596 armada kapal asal Belanda dibawah pimpinan Cornelis de Houtman tiba pertama kali di Sunda Kalapa (Jayakarta) dengan tujuan yang sama dengan Portugis, yaitu mencari rempah-rempah. Rempah-rempah pada saat itu menjadi komoditas unggulan di Belanda karena berbagai khasiatnya seperti obat, penghangat badan, dan bahan wangi-wangian. Para pedagang Belanda (yang kemudian tergabung dalam VOC) pada tahun 1610 mendapat sambutan hangat dari Pangeran Jayawikarta atau Wijayakarta penguasa Jayakarta yang merupakan pengikut Sultan Banten dan membuat perjanjian. Belanda diijinkan membangun gudang dan pos dagang yang terbuat dari kayu di sebelah timur muara sungai Ciliwung.
Akan tetapi pada saat itu Belanda melihat potensi pendapatan yang tinggi dari penjualan rempah-rempah di negara asalnya, VOC mengingkari perjanjian, bangunan gudang yang  awalnya terbuat dari kayu dibangun kembali dengan material yang kuat dan mendirikan pos dagang sekaligus benteng di selatan Pelabuhan Sunda Kelapa pada tahun 1613. kemudian pada tahun 1618 Belanda membangun benteng. Benteng ini berfungsi sebagai gudang penyimpanan barang, juga digunakan sebagai benteng perlawanan dari pasukan Inggris yang juga berniat untuk menguasai perdagangan di Nusantara. Benteng tersebut dibangun kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa.
Hingga pada tahun 1619, Jan Pieterrzoon Coen berhasil menghancurkan kota Jayakarta (Laporan Jurnalistik Kompas,2009: 88-89). Di atas puing-puing Jayakarta didirikan sebuah kota baru. J.P. Coen pada awalnya ingin menamai kota ini Nieuw Hoorn (Hoorn Baru), sesuai kota asalnya Hoorn di Belanda, tetapi akhirnya dipilih nama Batavia. Menurut catatan sejarah, pelabuhan Sunda Kelapa pada masa awal ini dibangun dengan kanal sepanjang 810 meter. Pada tahun 1817, pemerintah Belanda memperbesarnya menjadi 1.825 meter. Setelah zaman kemerdekaan, dilakukan rehabilitasi sehingga pelabuhan ini memiliki kanal sepanjang 3.250 meter yang dapat menampung 70 perahu layar dengan sistem susun sirih. Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Reproductie van een plattegrond van Batavia uit circa 1627 TMnr 496-3.jpg
Keterangan: Peta Batavia di sekitar tahun 1627. Di sebelah kiri gambar, yang mengarah ke utara, terlihat Kasteel
Setelah berhasil dikuasai Belanda, keadaan pelabuhan menjadi semakin ramai. Menurut Pramono (2005: 79) semakin banyak kapal dagang Belanda yang berlabuh untuk membongkar muatan dan melakukan transaksi. Kapal-kapal dagang VOC umumnya membawa muatan dari negara asalnya untuk dijual di wilayah Nusantara, kemudian mengisi kembali kapalnya engan muatan komoditas pertanian nusantara untuk dijual kembali ke negara asalnya.
Kapal-kapal VOC semakin ramai berdatangan ke wilayah perairan nusantara, seiring dengan ekspansi monopoli dagang VOC di tanah air. Bahkan setelah Belanda berhasil merebut pelabuhan Sunda Kelapa sekitar tahun 1602, yang kemudian berganti nama menjadi pelabuhan Batavia, kapal-kapal dagang Eropa semakin mengunjungi pelabuhan tersebut (Pramono 2005: 81).
Sekitar tahun 1859, Sunda Kalapa sudah tidak seramai masa-masa sebelumnya.  Hal tersebut dikarenakan pendangkalan, kapal-kapal tidak lagi dapat bersandar di dekat pelabuhan sehingga barang-barang dari tengah laut harus diangkut dengan perahu-perahu. Kota Batavia saat itu sebenarnya sedang mengalami percepatan dan sentuhan modern (modernisasi), apalagi sejak dibukanya Terusan Suez pada 1869 yang mempersingkat jarak tempuh berkat kemampuan kapal-kapal uap yang lebih laju meningkatkan arus pelayaran antar samudera. Selain itu Batavia juga bersaing dengan Singapura yang dibangun Raffles sekitar tahun 1819.
Untuk mengatasi hal tersebut maka dibangunlah pelabuhan samudera Tanjung Priok, yang jaraknya sekitar 15 km ke timur dari Sunda Kelapa untuk menggantikannya. Hampir bersamaan dengan itu dibangun jalan kereta api pertama (1873) antara Batavia - Buitenzorg (Bogor). Empat tahun sebelumnya (1869) muncul trem berkuda yang ditarik empat ekor kuda, yang diberi besi di bagian mulutnya. Sehingga hal tersebut semakin mendukung mundurnya pelabuhan Sunda Eklapa.
2.2 Pengaruh Pelabuhan Sunda Kalapa terhadap Batavia
Menurut Jean Gelman dalam  (Basundoro, 2012:84)  kota kolonial merupakan koloni-koloni yang dikembangkan oleh para pendatang dari Eropa. Tahapan selanjutnya koloni-koloni berkembang  menjadi pusat pemerintahan penjajahan. Pendatang Eropa yang berlabu di negara jajahan pada awalnya bertujuan untuk berdagang, maka kota kolonial pada awalnya juga sebagai kota dagang, mereka mendirikan gudang-gudang maupun kantor dagang (factory). Menurut McGee dalam (Basundoro, 2012:84) terdapat tiga ciri dari kota kolonial, yaitu permukiman stabil, memiliki garnisun dan permukiman pedagang sebagai tempat kontak dagang, dan  tempat penguasa kolonial dapat mneyelenggarakan perjanjian dagang dengan para penguasa pribumi.
Ciri-ciri penting dari kota kolonial adalah lokasinya terletak di dekat laut dan sungai karena para pendatang Eropa yang para penghuni dari kota-kota tersebut, memerlukan kemudahan supaya kapal mereka dapat mengekspor produk dari daerah yang bersangkutan, selain itu juga dapat mengimpor produk dari Eropa. Kota kolonial berada di tepi laut juga terkait erat dengan status mereka sebagai pendatang dari luar wilayah, kedatangan mereka dengan menggunakan kapal di tempat itulah mereka membangun kota sebagai basis permukiman, perdagangan dan pusat pemerintahan. Cari penting lain dari kota kolonial adalah adanya segragasi etnis yang merupakan bagian dari kebijakan pemerintah kolonial.
Sebagian besar oarang Eropa mendarat di kota pantai yang sudah cukup maju dan sudah ada kekuasaan formal dikawasan tersebut ditangan para penguasa tradisional. Kota kolonial pertama di indonesia adalah Batavia, kota ini dibangun oleh orang-orang Belanda pada tahun 1619 dan tahun itu dianggap sebagai fase baru dalam perkembangan kota di Indonesia. Orang Eropa yang mendarat pertama kali di Batavia bukanlah orang Belanda melainkan para pelaut dari portugis. Pada waktu itu Batavia masih bernama Sunda Kalapa.pada tahun 1513 empat kapal dari portugis dibawah kepemimpinan de Alvin mengunjungi Sunda Kelapa.
Mereka datang dari Malaka yang sebelumnya oleh Alfonso d’Albuqureque (Poesponegoro,2010:15). Pada waktu itu Sunda Kelapa berada dalam kekuasaan kerajaan Sunda. Beberapa tahun kemudian seorang portugis lain seperti, Enrique Leme mengunjungi Sunda Kalapa dan bertemu dengan kerajaan Sunda yaitu Surawisesa. Ia membawa banyak hadiah untuk raja Sunda. Kedatangan  orang-orang Portugis di Sunda Kalapa tidak sempat membangun kawasan tersebut menjadi sebuah kota, hal ini dikatakan bahwa ortugis tidak memiliki sumbangsi apapun terhadap perkembangan Sunda Kelapa.
Setelah bangsa Portugis berhasil diusir nama Sunda Kalapa kemudian dirubah menjadi Jayakarta yang memiliki arti “ kemenangan besar” pada tanggal 27 Juni 1527, dimana tanggal tersebut sampai saat ini selalu diperingati sebagai hari kelahiran kota Jakarta. Jaringan jalan dan sungai yang menghubungkan daerah pedalaman dan pelabuhan bandar Kalapa mulai tumbuh dan berkembang menjadi jalur perdagangan sangat ramai.
Pelabuhan Sunda Kalapa ketika itu berada dalam kekuasaan kerajaan Pajajaran. Pendiri pajajaran masa pemerintahan Prabu Siliwangi sudah mengenal teknologi kelautan berupa irigasi laut, dibangun saluran atau kanal yang menghubungkan wilayah pesisir dengan pedalaman agar dapat dilalui kapal dengan ukuran kecil yang berfungsi sebagai transportasi membawa hasil pertanian yang akan diperdagangkan di Bandar Kalapa (Pramono, 2005:91). Peran Bandar Kalapa sebagai bandar kerajaan telah menempati posisi utama bagi penopang perekonomian, sehingga posisi penguasa atau adipati Bandar Kalapa dipilih dari pembesar kerajaan seperti para mahkota atau pejabat kerajaan Pajajaran. Keberadaan Sunda Kalapa yang strategis sebagai bandar niaga internasional akhirnya mendorong niat penguasa lain di Jawa seperti kerajaan Demak untuk membuat pelabuhan Sunda Kalapa, di samping itu Sunda Kalapa terletak di perairan teluk yang cukup lebar, sehingga memungkinkan kapal-kapal dagang dalam jumlah besar merapatkan pelabuhan Banten relatif kurang luas untuk keperluan itu. Salah satu ciri kota yang dibangun oleh kolonial pada awal abad ke-17 adalah gaya bangunan Eropa yang mendominasi kawasan kota.
 Tipologi asitektur dan bahasa perancangan model Eropa yang memiliki empat musim dicangkokkan langsung kawasan tropis di Indonesia. Bangunan-bangunan yang memiliki tipologi ini antara lain adalah pos-pos perdagangan, benteng militer, dan kota yang dilindungi oleh benteng. Orang-orang Eropa yang baru datang di Indonesia memiliki perasaan paranoid yang tinggi.
Terdapat ketakutan yang luar biasa terhadap penduduk asli setempat, jika sewaktu-waktu akan menyerang mereka. Sikap paranoid terhadap penduduk setempat dicirikan dengan dibangunannya benteng-benteng pertahanan di hampir setiap kota yang dibangun oleh orang Eropa di Indonesia.
Di Jakarta mereka membangun benteng yang dinamakan Benteng Batavia, yang menandakan bahwa pada waktu itu kota tersebut merupakan kota di dalam benteng. Tembok tebal mengelilingi kota tersebut, dan di beberapa titik dibangun bastion (bangunan untuk mengintai musuh) yang diberi nama dengan nama kota di Belanda. Nama-nama terssebut antara lain Bastion Amesterdam, Middleburg, Rotterdam, Hollandia, Grimerbergen, dan lain-lain. Pembangunan benteng yang kuat dianggap sebagai hal yang wajar karena kota Batavia pernah dua kali diserang oleh pasukan Mataram pada masa Sultan Agung.
Di kota Surabaya orang-orang Belanda yang pertama kali datang pada awalnya juga membangun benteng yang diberi nama Fort (Benteng) Retranchement. Pada masa Daendels di kota ini juga didirikan benteng yang disebut Benteng Lodewijk. Pada masa Gubernur Jenderal van den Bosch berkuasa di Indonesia, tepatnya pada 1835, kota Surabaya bahkan dibangun menjadi sebuah kota yang dikelilingi oleh tembok. Di ujung timur laut didirikan benteng utama yang diberi nama Benteng (Citadel) Prins Hendrik yang berbentuk segi empat. Citadel ini berada pada jarakkurang lebih 1 pal dari laut. Tembok kota memanjang dari sisi-sisi citadel ini mengelilingi kota lama dari arah yang berlawanan untuk kemudian bertemu lagi dibagian selatan kota pada kalimas. Citadel  Prins Hendrik pada 1893 telah tidak berfungsi lagi, sehingga sebagian dari bangunan diserahkan kepada pemerintah sipil, bahkan pada 1915 bangunan ini tergusur untuk perluasan jalan kereta api akibat dibangunnya pelabuhan baru. pada 1917 tembok kota hanya nampak sisa-sisanya sedikit.
Ciri lain dari kota kolonial adalah adanya perencanaan kota yang cukup baik, sehingga secara fisik kota-kota kolonial memiliki struktur yang lebih rapi dan teratur (Basundoro, 2012:91)sebelum Belanda membangun  kota Batavia ia terlebih dahulu mempersiapkan rencana kota Batavia dengan sebuah rancangan yang baik disebut plan de Batavia adapun gambar perkembangan kota Batavia sebagai berikut:
Gambar rencana desain awal pembangunan kota Batavia.
Sumber:Donald Maclaine Campbell java:past and present (London:William Heinemann, 1995).
`           Rancangan keberadaan kota yang baik menyebabkan dalam hal terjadinya kontras antara kawasan kota yang dihuni orang-orang Eropa dengan kawasan kota yang dihuni oleh orang bumiputra. Kontras tersebut sering kali ditonjolkan oleh pemerintah kolonial Belanda bahwa permukiman Eropa memiliki standar yang lebih baik dibandingkan dengan permukiman bumiputra. Bahkan ketika terjadi kasus merebaknya epidemi penyakit di perkotaan, seringkali permukiman bumiputra di perkampungan dituduh sebagai sumber dari penyebaran penyakit tersebut. Kota kolonial biasanya dibuat mirip degan kota-kota yang ada di Eropa khususnya adalah Belanda. Kota-kota yang berada di tepi pantai biasanya dibuat dengan berkotak-kotak dengan jalan dan kanal sebagai batas antar blok. Sebagaimana kota-kota yang ada di Belanda, kanal juga dimanfaatkan untuk jaringan transportasi. Perahu yang membawa barang dari pedalaman datang dari hulu sungai menelusuri kanal hingga sampai tempat tujuan, sedangkan kapal-kapal dari luar negeri membongkar muatannya di pelabuhan dan memindah barangnya ke tongkang yang biasa menulusuri jalur air dalam kota. Pemandangan semacam ini juga bisa dilihat di kota Batavia. Seperti Belanda di Belanda, orang-orang Eropa juga ingin tinggal di tepi kanal karena daerah tersebut biasanya lebih nyaman, elit, dan bergengsi. Sebagian besar bangunan yang dibuat oleh orang Eropa dibuat dari batu bata, karena untuk mencegah bahaya kebakaran, selain itu bangunan dari beton dianggap lebih sehat.

Gambar kota Batavia tahun 1650 sebagai kota modern pertama di Indonesia.
(sumber: Donald Meclaine Campbell, Java and Present, London:William Heineman, 1915)


Perkembangan perencanaan kota semakin baik pada awal abad ke-19 ketika Raffles yang memerintah amat singkat di Indonesia (1811-1816) membentuk Dinas Pekerjaan Umum yang pada waktu itu merupakan bagian dari Departemen Keungan.
 Pada saat Indonesia diperintah  kembali oleh Belanda, Dinas Pekerjaan Umum menjadi bagian dari Departemen Lalu-lintas Air dan Teknik Sipil dan mempekerjakan insinyur militer (korps Zeni). Pada 1855 dibentuklah Direktorat Pekerjaan Umum yang mandiri yang bernama Burgelijke Openbare Werken. Lembaga ini banyak melatih para arsitek sipil dan mengerjakan berbagai pekerjaan sipil di perkotaan, terutama bangunan perkantoran dan sarana kepentingan umum lainnya, seperti pasar, rumah sakit, sekolahan, sarana olaraga, makam, mercusuar, dan lain-lain. Dengan kata lain, tugas BOW adalah mengerjakan rancangan pengembangan kota dan membangun berbagai fasilitas umum dikota. 
Puncak dari perencanaan kota-kota di Indonesia pada masa kolonial terjadi beberapa saat setelah diundangkannya Undang-Undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) pada 1903. Berdasarkan  undang-undang tersebut dibentuklah kota-kota otonom yang menyelenggarakan pemerintahannya secara mandiri, tidak tergantung kepada pemerint pusat Batavia. Kota-kota otonom diberi status gemeente dan berkembang menjadi stadsgemeente pada periode berikutnya (perkembangan pemerintah kota di Indonesia akan dibahas pada bab tersendiri). Dengan status yang baru tersebut maka pemerintah kota diberi keleluasaan untuk mengembangkan kotanya. Mereka berlomba-lomba mempercantik kota mereka dengan dibantu oleh para arsitek dan para perancang kota. Biro-biro arsitek dan perencanaan kota swasta lahir di berbagai kota. Biro arsitek swasta yang pertama kali beridiri di Indonesia adalah Technisch Bureau Biezeld & Moojen  yang berkedudukan  di Bandung .



BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan pelabuhan yang sangat berpengaruh dalam perkembangan Batavia. Pada awalnya Pelabuhan Sunda kelapa merupakan pelabuhan milik kerajaan Pajajaran. Setelah itu pelabuhan Sunda Kelapa berhasil dikuasai oleh para koloni dari bangsa Eropa,awal nama kota di Sunda Kalapa adalah Jayakarta, namun  pada tahun 1619, Jan Pieterrzoon Coen berhasil menghancurkan kota Jayakarta. Di atas puing-puing Jayakarta didirikan sebuah kota baru. J.P. Coen pada awalnya ingin menamai kota ini Nieuw Hoorn (Hoorn Baru), sesuai kota asalnya Hoorn di Belanda, tetapi akhirnya dipilih nama Batavia.
2. Pendatang Eropa yang berlabu di negara jajahan pada awalnya bertujuan untuk berdagang, maka kota kolonial pada awalnya juga sebagai kota dagang, mereka mendirikan gudang-gudang maupun kantor dagang (factory). Sebagian besar oarang Eropa mendarat di kota pantai yang sudah cukup maju dan sudah ada kekuasaan formal dikawasan tersebut ditangan para penguasa tradisional. Kota kolonial pertama di indonesia adalah Batavia, kota ini dibangun oleh orang-orang Belanda pada tahun 1619 dan tahun itu dianggap sebagai fase baru dalam perkembangan kota di Indonesia. Di Jakarta mereka membangun benteng yang dinamakan Benteng Batavia, yang menandakan bahwa pada waktu itu kota tersebut merupakan kota di dalam benteng.



DAFTAR RUJUKAN

Basundoro, P. 2012. Pengantar Sejarah Kota.Yogyakarta:Ombak.
Karim, Mulyana (Ed). 2009. Ekspedisi Ciliwung: Laporan Jurnalistik Kompas Mata Air, Air Mata. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Poesponegoro, M.D, dkk. Sejarah Nasional Indonesia 1V. Jakarta: PT (Persero) Penerbitan dan Percetakan.
Pramono, Djoko.2005.  Budaya Bahari. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Makalah Perkembangan seni sastra agama islam melalui Sunan Bonang



Perkembangan seni sastra agama islam melalui Sunan Bonang


MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Sejarah Indonesia Kuno
Yang dibina oleh Bpk. Deny Yudo Wahyudi, S.Pd., M.Hum.


Oleh :
Muhamad Sufyan









    UNIVERSITAS NEGERI MALAN
      FAKULTAS ILMU SEJARAH 
JURUSAN ILMU SEJARAH
FEBRUARI 2013




KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta hidayah kepada kita semua, sehingga berkat Karunia-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah ”Perkembangan Seni Sastra Agama Islam Melalui Sunan Bonang”
            Dalam penyusunan makalah ini, penulis tidak lupa mengucapkan banyak terimakasih pada Dosen. Dalam penyusunan makalah ini penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun kepada pembaca umumnya.
















DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  i

BAB I                         PENDAHULUAN
                        A. Latar Belakang Penulisan
                        B. Rumusan Masalah
                        C. Tujuan Penulisan
BAB II            PEMBAHASAN
                        A. Suluk Suluk Sunan Bonang
                        B. Tasawuf Dan Pengetahuan Diri
BAB III          PENUTUP
                        A. Kesimpulan
                        B. Saran











BAB 1
PENDAHULUHAN

A. Latar Belakang
Sunan Bonang diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke-15 M dan wafat pada awal abad ke-16 M. Ada yang memperkirakan wafat pada tahun 1626 atau 1630, ada yang memperkirakan pada tahun 1622 (de Graff & Pigeaud 1985:55). Dia adalah ulama sufi, ahli dalam berbagai bidang ilmu agama dan sastra. Juga dikenal ahli falak, musik dan seni pertunjukan. Sebagai sastrawan dia menguasai bahasa dan kesusastraan Arab, Persia, Melayu dan Jawa Kuno. Nama aslinya ialah Makhdum Ibrahim. Dalam suluk-suluknya dan dari sumber-sumber sejarah lokal ia disebut dengan berbagai nama gelaran seperti Ibrahim Asmara, Ratu Wahdat, Sultan Khalifah dan lain-lain (Hussein Djajadiningrat 1913; Purbatjaraka 1938; Drewes 1968). Nama Sunan Bonang diambil dari nama tempat sang wali mendirikan pesujudan (tempat melakukan `uzlah) dan pesantren di desa Bonang, tidak jauh dari Lasem di perbatasan Jawa Tengah – Jawa Timur sekarang ini. Tempat ini masih ada sampai sekarang dan ramai diziarahi pengunjung untuk menyepi, seraya memperbanyak ibadah seperti berzikir, mengaji al-Qur’an dan tiraqat (Abdul Hadi W. M. 2000:96-107).
Kakeknya bernama Ibrahim al-Ghazi bin Jamaluddin Husain, seorang ulama terkemuka keturunan Turki-Persia dari Samarkand. Syekh Ibrahim al-Ghazi sering dipanggil Ibrahim Asmarakandi (Ibrahim al-Samarqandi), nama takhallus atau gelar yang kelak juga disandang oleh cucunya. Sebelum pindah ke Campa pada akhir abad ke-14 M, Syekh Ibrahim al-Ghazi tinggal di Yunan, Cina Selatan. Pada masa itu Yunan merupakan tempat singgah utama ulama Asia Tengah yang akan berdakwah ke Asia Tenggara. Di Campa dia kawin dengan seorang putri Campa keturunan Cina dari Yunan. Pada tahun 1401 M lahirlah putranya Makhdum Rahmat, yang kelak akan menjadi masyhur sebagai wali terkemuka di pulau Jawa dengan nama Sunan Ampel. Setelah dewasa Rahmat pergi ke Surabaya,mengikuti jejak bibinya Putri Dwarawati dari Campa yang diperistri oleh raja Majapahit Prabu Kertabhumi atau Brawijaya V. Di Surabaya, ayah Sunan Bonang ini, mendapat tanah di daerah Ampel, Surabaya, tempat dia mendirikan masjid dan pesantren. Dari perkawinannya dengan seorang putri Majapahit, yaitu anak adipati Tuban, Tumenggung Arya Teja, dia memperoleh beberapa putra dan putri. Seorang di antaranya yang masyhur ialah Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang. (Hussein Djajadiningrat 1983:23; Agus Sunyoto 1995::48).
Sejak muda Makhdum Ibrahim adalah seorang pelajar yang tekun dan muballigh yang handal. Setelah mempelajari bahasa Arab dan Melayu, serta berbagai cabang ilmu agama yang penting seperti fiqih, usuluddin, tafsir Qur’, hadis dan tasawuf; bersama saudaranya Sunan Giri dia pergi ke Mekkah dengan singgah terlebih dahulu di Malaka, kemudian ke Pasai. Di Malaka dan Pasai mereka mempelajari bahasa dan sastra Arab lebih mendalam. Sejarah Melayu merekam kunjungan Sunan Bonang dan Sunan Giri ke Malaka sebelum melanjutkan perjalanan ke Pasai. Sepulang dar Mekkah, melalui jalan laut dengan singgah di Gujarat, India, Sunan Bonang ditugaskan oleh ayahnya ntuk memimpin masjid Singkal, Daha di Kediri (Kalamwadi 1990:26-30). Di sini dia memulai kariernya pertama kali sebagai pendakwah.
Ketika masjid Demak berdiri pada tahun 1498 M Sunan Bonang untuk menjadi imamnya yang pertama. Dalam menjalankan tugasnya itu dia dibantu oleh Sunan Kalijaga, Ki Ageng Selo dan wali yang lain. Di bawah pimpinannya masjid agung itu berkembang cepat menjadi pusat keagamaan dan kebudayaan terkemuka. Tetapi sekitar tahun 1503 M, dia berselisih paham dengan Sultan Demak dan memutuskan untuk meletakkan jabatannya sebagai imam masjid agung. Dari Demak Sunan Bonang pindah ke Lasem, dan memilih desa Bonang sebagai tempat kegiatannya yang baru. Di sini dia mendidirikan pesujudan dan pesantren. Beberapa karya Sunan Bonang, khususnya Suluk Wujil, mengambil latar kisah di pesujudannya ini. Di tempat inilah dia mengajarkan tasawuf kepada salah seorang muridnya, Wujil, seorang cebol namun terpelajar dan bekas abdi dalem kraton Majapahit (Abdul Hadi W. M. 2000:96-107).
Setelah cukup lama tinggal di Bonang dan telah mendidik banyak murid, dia pun pulang ke Tuban. Di sini dia mendirikan masjid besar dan pesantren, meneruskan kegiatannya sebagai seorang muballigh, pendidik, budayawan dan sastrawan terkemuka sehingga masa akhir hayatnya, Dalam sejarah sastra Jawa, Sunan Bonang dikenal sebagai penyair yang prolifik dan penulis risalah tasawuf yang ulung. Dia juga dikenal sebagai pencipta beberapa tembang (metrum puisi) baru dan mengarang beberapa cerita wayang bernafaskan Islam. Sebagai musikus dia menggubah beberapa gending (komposisi musik gamelan) seperti gending Dharma yang sangat terkenal. Di bawah pengaruh wawasan estetika sufi yang diperkenalkan para wali termasuk Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, gamelan Jawa berkembang menjadi oskestra polyfonik yang sangat meditatif dan kontemplatif. Sunan Bonang pula yang memasukkan instrumen baru seperti rebab Arab dan kempul Campa (yang kemudian disebut bonang, untuk mengabadikan namanya) ke dalam susunan gamelan Jawa.

Karya-karya Sunan Bonang yang dijumpai hingga sekarang dapat dikelompokkan menjadi dua: (1) Suluk-suluk yang mengungkapkan pengalamannya menempuh jalan tasawuf dan beberapa pokok ajaran tasawufnya yang disampaikan melalui ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat dalam kebudayaan Arab, Persia, Melayu dan Jawa. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain (Drewes 1968). (2) Karangan prosa seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya yang tekun. Bentuk semacam ini banyak dijumpai sastra Arab dan Persia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja Suluk dari sunan bonang ?
2. Apa tasawuf dan pengetahuan diri ?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar kita dapat mengetahui tentang Suluk suluk  di Indonesia, salah satunya yaitu Suluk Sunan Bonang dan member wawasan serta ilmu lebih kepada pembaca.
Agar kita tidak lupa dengan peninggalan peninggalan/seni sastra islam, untuk itu kita harus mempelajari sejarah di Indonesia dengan tekun supaya kita tidak melupakan sejarah masa kuno.



BAB II
PEMBAHASAN

          A. Suluk suluk sunan bonang
            Sebagaimana telah dikemukakan suluk adalah salah satu jenis karangan tasawuf yang dikenal dalam masyarakat Jawa dan Madura dan ditulis dalam bentuk puisi dengan metrum (tembang) tertentu seperti sinom, wirangrong, kinanti, smaradana, dandanggula dan lain-lain . Seperti halnya puisi sufi umumnya, yang diungkapkan ialah pengalaman atau gagasan ahli-ahli tasawuf tentang perjalana keruhanian (suluk) yang mesti ditempuh oleh mereka yang ingin mencpai kebenaran tertinggi, Tuhan, dan berkehendak menyatu dengan Rahasia Sang Wujud. Jalan itu ditempuh melalui berbagai tahapan ruhani (maqam) dan dalam setiap tahapan seseorang akan mengalami keadaan ruhani (ahwal) tertentu, sebelum akhirnya memperoleh kasyf (tersingkapnya cahaya penglihatan batin) dan makrifat, yaitu mengenal Yang Tunggal secara mendalam tanpa syak lagi (haqq al-yaqin). Di antara keadaan ruhani penting dalam tasawuf yang sering diungkapkan dalam puisi ialah wajd (ekstase mistis), dzawq (rasa mendalam), sukr (kegairahan mistis), fana’ (hapusnya kecenderungan terhadap diri jasmani), baqa’ (perasaan kekal di dalam Yang Abadi) dan faqr (Abdul Hadi W. M. 2002:18-19).
Faqr adalah tahapan dan sekaligus keadaan ruhani tertinggi yang dicapai seorang ahli tasawuf, sebagai buah pencapaian keadadaan fana’ dan baqa’. Seorang faqir, dalam artian sebenarnya menurut pandangan ahli tasawuf, ialah mereka yang demikian menyadari bahwa manusia sebenarnya tidak memiliki apa-apa, kecuali keyakinan dan cinta yang mendalam terhadap Tuhannya. Seorang faqir tidak memiliki keterpautan lagi kepada segala sesuatu kecuali Tuhan. Ia bebas dari kungkungan ‘diri jasmani’ dan hal-hal yang bersifat bendawi, tetapi tidak berarti melepaskan tanggung jawabnya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Sufi Persia abad ke-13 M menyebut bahwa jalan tasawuf merupakan Jalan Cinta (mahabbah atau `isyq). Cinta merupakan kecenderungan yang kuat terhadap Yang Satu, asas penciptaan segala sesuatu, metode keruhanian dalam mencapai kebenaran tertinggi, jalan kalbu bukan jalan akal dalam memperoleh pengetahuan mendalam tentang Yang Satu (Ibid). Sebagaimana puisi para sufi secara umum, jika tidak bersifat didaktis, suluk-suluk Sunan Bonang ada yang bersifat lirik. Pengalaman dan gagasan ketasawufan yang dikemukakan, seperti dalam karya penyair sufi di mana pun, biasanya disampaikan melalui ungkapan simbolik (tamsil) dan ungkapan metaforis (mutasyabihat). Demikian dalam mengemukakan pengalaman keruhanian di jalan tasawuf, dalam suluk-suluknya Sunan Bonang tidak jarang menggunakan kias atau perumpamaan, serta citraan-citraan simbolik. Citraan-citraan tersebut tidak sedikit yang diambil dari budaya lokal. Kecenderungan tersebut berlaku dalam sastra sufi Arab, Persia, Turki, Urdu, Sindhi, Melayu dan lain-lain, dan merupakan prinsip penting dalam sistem sastra dan estetika sufi (Annemarie Schimmel 1983: ) Karena tasawuf merupakan jalan cinta, maka sering hubungan antara seorang salik (penempuh suluk) dengan Yang Satu dilukiskan atau diumpamakan sebagai hubungan antara pencinta (`asyiq) dan Kekasih (mahbub, ma`syuq).
Drewes (1968, 1978) telah mencatat sejumlah naskah yang memuat suluk-suluk yang diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau Pangeran Bonang, khususnya yang terdapat di Museum Perpustakaan Universitas Leiden, dan memberi catatan ringkas tentang isi suluk-suluk tersebut. Penggunaan tamsil pencinta dan Kekasih misalnya terdapat dalam Gita Suluk Latri yang ditulis dalam bentuk tembang wirangrong. Suluk ini menggambarkan seorang pencinta yang gelisah menunggu kedatangan Kekasihnya. Semakin larut malam kerinduan dan kegelisahannya semakin mengusiknya, dan semakin larut malam pula berahinya (`isyq) semakin berkobar. Ketika Kekasihnya datang dia lantas lupa segala sesuatu, kecuali keindahan wajah Kekasihnya. Demikianlah sestelah itu sang pencinta akhirnya hanyut dibawa ombak dalam lautan ketakterhinggaan wujud.
Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang menceritakan kisah-kisah kerohanian para wali dan pengalaman mereka mengajarkan kepada orang yang ingin memeluk agama Islam. Suluk ini cukup panjang. Sunan Bonang juga menceritakan pengalamannya selama beradadi Pasai bersama guru-gurunya serta perjalanannya menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Karya yang tidak kalah penting ialah Suluk Gentur atau Suluk Bentur. Suluk ini ditulis di dalam tembang wirangrong dan cukup panjang.  Gentur atau bentur berarti lengkap atau sempruna. Di dalamnya digambarja jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk mencapai kesadaran tertiggi. Dalam perjalanannya itu ia akan berhadapan dengan maut dan dia akan diikuti oleh sang maut kemana pun ke mana pun ia melangkah. Ujian terbesar seorang penempuh jalan tasawuf atau suluk ialah syahadat dacim qacim. Syahadat ini berupa kesaksian tanpa bicara sepatah kata pun dalam waktu yang lama, sambil mengamati gerik-gerik jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran dan keunikan Tuhan. Garam jatuh ke dalam lautan dan lenyap, tetapi tidak dpat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang ke dalam kekosongan (suwung). Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana’ tidak lantas tercerap dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan atau kewujudan jasmaninya.

           





B. Tasawuf dan Pengetahuan diri
            Secara keseluruhan jalan tasawuf merupakan metode-metode untuk mencapai pengetahuan diri dan hakikat wujud tertinggi, melalui apa yang disebut sebagai jalan Cinta dan penyucian diri. Cinta yang dimaksudkan para sufi ialah kecenderungan kuat dari kalbu kepada Yang Satu, karena pengetahuan tentang hakikat ketuhanan hanya dicapai tersingkapnya cahaya penglihatan batin (kasyf) dari dalam kalbu manusia (Taftazani 1985:56). Tahapan-tahapan jalan tasawuf dimulai dengan‘penyucian diri’, yang oleh Mir Valiuddin (1980;1-3) dibagi tiga: Pertama, penyucian jiwa atau nafs (thadkiya al-nafs); kedua, pemurnian kalbu (tashfiya al-qalb); ketiga, pengosongan pikiran dan ruh dari selain Tuhan (takhliya al-sirr).
Istilah lain untuk metode penyucian diri ialah mujahadah, yaitu perjuangan batin untuk mengalah hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi dari jiwa yang menguasai jasmani manusia (‘diri jasmani’). Hasil dari mujahadah ialah musyahadah da mukasyafah. Musyahadah ialah mantapnya keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada Yang Satu, sehingga pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati. Mukasyafah ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam kalbu.
Penyucian jiwa dicapai dengan memperbanyak ibadah dan amal saleh. Termasuk ke dalam ibadah ialah melaksanakan salat sunnah, wirid, zikir, mengurangi makan dan tidur untuk melarih ketangguhan jiwa. Semua itu dikemukakan oleh Sunan Bonang dalam risalahnya Pitutur Seh Bari dan juga oleh Hamzah Fansuri dalam Syarab al-`Asyiqin (“Minuman Orang Berahi”). Sedangkan pemurnian kalbu ialah dengan membersihkan niat buruk yang dapat memalingkan hati dari Tuhan dan melatih kalbu dengan keinginan-keinginan yang suci. Sedangkan pengosongan pikiran dilakukan dengan tafakkur atau meditasi, pemusatan pikiran kepada Yang Satu. Dalam sejarah tasawuf ini telah sejak lama ditekankan, terutama oleh Sana’i, seorang penyair sufi Persia abad ke-12 M. Dengan tafakkur, menurut Sana’i, maka pikiran seseorang dibebaskan dari kecenderungan untuk menyekutuhan Tuhan dan sesembahan yang lain (Smith 1972:76-7).
Dalam Suluk Wujil juga disebutkan bahwa murid-muridnya menyebut Sunan Bonang sebagai Ratu Wahdat. Istilah ‘wahdat’ merujuk pada konsep sufi tentang martabat (tinbgkatan) pertama dari tajalli Tuhan atau pemanifestasian ilmu Tuhan atau perbendaharaan tersembunyi-Nya (kanz makhfiy) secara bertahap dari ciptaan paling esensial dan bersifat ruhani sampai ciptaan yang bersifat jasmani. Martabat wahdat ialah martabat keesaan Tuhan, yaitu ketika Tuhan menampakkan keesaan-Nya di antara ciptaan-ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Pada peringkat ini Allah menciptakan esensi segala sesuatu (a’yan tsabitah) atau hakikat segala sesuatu (haqiqat al-ashya). Esensi segala sesuatu juga disebut ‘bayangan pengetahuan Tuhan’ (suwar al-ilmiyah) atau hakikat Muhammad yang berkilau-kilauan (nur muhammad). Ibn `Arabi menyebut gerak penciptaaan ini sebagai gerakan Cinta dari Tuhan, berdasar hadis qudsi yang berbunyi, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku cinta (ahbabtu) untuk dikenal, maka aku mencipta hingga Aku dikenal” (Abdul Hadi W. M. 2002:55-60). Maka sebutan Ratu Wahdat dalam suluk ini dapat diartikan sebagai orang yang mencapai martabat tinggi di jalan Cinta, yaitu memperoleh makrifat dan telah menikmati lezatnya persatuan ruhani dengan Yang Haqq.
           
Pengetahuan Diri, Cermin dan Ka’bah
Secara keseluruhan bait-bait dalam Suluk Wujil adalah serangkaian jawaban Sunan Bonang terhadap pertanyaan-pertanyaan Wujil tentang aka yang disebut Ada dan Tiada, mana ujung utara dan selatan, apa hakikat kesatuan huruf dan lain-lain. Secara berurutan jawaban yang diberikan Sunan Bonang berkenaan dengan soal: (1) Pengetahuan diri, meliputi pentingnya pengetahuan ini dan hubungannya dengan hakikat salat atau memuja Tuhan. Simbol burung dan cermin digunakan untuk menerangkan masalah ini; (2) Hakikat diam dan bicara; (3) Kemauan murni sebagai sumber kebahagiaan ruhani; (4) Hubungan antara pikiran dan perbuatan manusia dengan kejadian di dunia; (5) Falsafah Nafi Isbat serta kaitannya dengan makna simbolik pertunjukan wayang, khususnya lakon perang besar antara Kurawa dan Pandawa dari epik Mahabharata; (6) Gambaran tentang Mekkah Metafisisik yang merupakan pusat jagat raya, bukan hanya di alam kabir (macrokosmos) tetapi juga di alam saghir (microcosmos), yaitu dalam diri manusia yang terdalam; (7) Perbedaan jalan asketisme atau zuhud dalam agama Hindu dan Islam.











BAB III
PENUTUP
            A. Kesimpulan
            Sunan bonang mempunyai peranan penting bagi agama islam, salah satunya yaitu menyebarkan isalm melalui seni sastra yang berkembang di nusantara, dan yang pasti masyarakat dahulu sangat terhibur karena hingga kini kita bisa mendengar tembang-tembang dari salah satu sunan yang ada di wali songo.
            B. Saran
            Demikianlah makalah ini kami persembahkan dan hanya sebatas inilah kemampuan penulis menyusun makalah. Semoga para pembaca terutama dosen dapat mengambil manfaat dari makalah ini.
            Saran dan kritiknya yang sifatnya membangun dari semua pihak terutama teman seperjuangan di perguruan tinggi Universitas Negeri Malang serta dari dosen yang sangat harapkan, dan semoga makalah ini memberi manffat yang sangat banyak.
           












                                                                             
LAMPIRAN BUKTI

DAFTAR RUJUKAN
            de Graff, H. J & Pigeaud, T.H.. (1985). Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Demak. Jakarta: Grafitti Press dan KITLV.
            Abdul Hadi W. M. (1981). “Beberapa Informasi Tentang Sastra Madura”. Sronen No.2, September 1981:11-15.
            Abdul hadi WM. Sunan Bonang, “ Perintis dan Pendekar Sastra Sulik’’ Tulisan lepas, 1993,.
            Perdetik.blogspot.com/apresiasi-terhadap-tradisi-dan-upacara.