BAB
I
PENDAULUAN
1.1
Latar
Belakang
Sejak abad IV nama Sunda Kelapa
sudah dikenal sebagai kota pelabuhan.. Menurut naskah-naskah kuno, nama bandar
ini adalah Kalapa, tetapi para pelaut Portugis menyebutnya Sunda Kelapa.
Letaknya di Teluk Jakarta, terlindung oleh pulau-pulau dalam gugusan Kepulauan
Seribu. Secara alamiah, keadaan ini amat menguntungkan untuk sebuah bandar.
Kapal-kapal dapat berlabuh dengan tenang dan aman. Selain itu, posisinya yang
berada di muara sungai amat strategis, karena dapat mempercepat hubungan
pelayaran serta perdagangan antara daerah pesisir dan pedalaman, sedangkan nama
pelabuhan Sunda Kelapa sudah terdengar sejak abad ke-12 sebagai pelabuhan lada.
Pada 1526, Sunda Kelapa dikuasai
oleh Kerajaan Demak-Cirebon yang sebelumnya telah menduduki Banten. Pada masa
itu namanya menjadi Jayakarta. Kedudukannya sebagai bandar terbesar dan
terpenting perlahan-lahan mulai memudar karena digantikan oleh Banten. Secara
politis maupun ekonomis, peranan bandar ini pun menjadi tenggelam, namun tetap
diperhitungkan sebagai daerah penyangga Banten. Pelabuhan ini tetap disinggahi
kapal yang membutuhkan bahan makanan dan air minum.
pada 21 Agustus 1522 diadakan
perjanjian persahabatan kerajaan Sunda dengan kerajaan portugal. Perjanjian
internasional inilah pertama yang ada di Indonesia, sebagai tanda perjanjian
tersebut. Sebuah batu besar yang disebut padrao
yang ditanam di pantai. Keadaan
pelabuhan ini menjadi hidup kembali saat VOC menguasai bandar ini. Setelah
melihat tempat-tempat yang tepat sebagai titik temu kegiatan perdagangan di
Asia, dari Koromandel sampai Cina, perusahaan dagang Belanda ini menjatuhkan
pilihan ke Jayakarta. Maka pada 1619 , Jayakarta berubah menjadi Batavia. Di
tempat ini kemudian dibangun pusat militer dan administrasi VOC. Sejak itu,
Batavia menjadi kota pelabuhan yang berkembang pesat dan dihuni puluhan ribu
orang dari berbagai bangsa. Tipologi asitektur dan
bahasa perancangan model Eropa yang memiliki empat musim dicangkokkan langsung
kawasan tropis di Indonesia. Bangunan-bangunan yang memiliki tipologi ini
antara lain adalah pos-pos perdagangan, benteng militer, dan kota yang
dilindungi oleh benteng.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
seajarah dan perkembangan pelabuhan Sunda Kalapa pada abad XVI-XIX?
2. Bagaimana
pengaruh pelabuhan Sunda Kalapa terhadap Batavia?
1.3
Tujuan
Penulisan Makalah
1. Untuk
mengetahui sejarah dan perkembangan pelabuhan Sunda Kalapa.
2. Untuk
mengetahui Pengaruh pelabuhan Sunda Kalapa terhadap Batavia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.2 Sejarah dan
Perkembangan Pelabuhan Sunda Kelapa Abad XVI-XIX
Nama Pelabuhan Sunda Kelapa sudah
terdengar sejak abad ke-12. Pada masa
itu pelabuhan ini sudah dikenal sebagai pelabuhan lada. Para pedagang nusantara
kerap singgah di Sunda Kalapa di antaranya berasal dari Palembang, Tanjungpura,
Malaka, Makasar dan Madura dan bahkan kapal-kapal asing dari Cina Selatan,
Gujarat, dan Arab sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti
porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kemenyan, kuda, anggur, dan zat
warna untuk ditukar dengan lada dan rempah-rempah yang menjadi komoditas
unggulan pada saat itu. Para pelaut Cina menyebut Sunda Kalapa dengan nama Kota
Ye-cheng yang berarti kota Kelapa.
Pada awalnya pelabuhan Sunda
Kelapa merupakan wilayah dari kerajaan Sunda (Pajajaran ). Dimana potendi
pelabuhan Sunda Kelapa merupakan sumber income
bagi wilayah setempat, yaitu kerajaan Sunda (Pajajran). Pada kerajaan nusantara
di wilayah lain timbul keinginan untuk menguasai pelabuhan tersebut. Kerajaan
Demak yang dipimpin oleh Fatahillah mengerahkan armada kapal lautnya dan
berhasil merebut Sunda Kelapa, yang kemudian berganti nama Jayakarta (22 Juni
1527) yang bermakna kemenangan gemilang (Pramono, 2005: 79). Pada dasarnya Pelabuhan
Sunda Kelapa merupakan pelabuhan yang tidak persis berada di tepian pantai (open sea port), tetapi masuk muara
sungai ciliwung.
Sungainya memungkinkan untuk
dimasuki 10 buah kapal dagang yang mempunyai kapasitas 100 ton. Sungai ciliwung
airnya mengalir bebas tidak berlumpur dan tenang (Laporan Jurnalistik
Kompas,2009: 88-89).
Hubungan pelabuhan Sunda Kelapa dengan bangsa Eropa dimulai
ketika Portugis di bawah pimpinan de Alvin tiba pertama kali di Sunda Kelapa
dengan armada empat buah kapal pada tahun 1513, sekitar dua tahun setelah
menaklukkan Malaka. Mereka datang untuk mencari peluang perdagangan
rempah-rempah dengan dunia barat. Karena dari Malaka mereka mendengar kabar
bahwa Sunda Kalapa merupakan pelabuhan lada yang utama di kawasan ini. Menurut
catatan perjalanan Tome Pires pada masa itu Sunda Kalapa merupakan pelabuhan
yang sibuk namun diatur dengan baik.
Beberapa tahun kemudian Portugis
datang kembali dibawah pimpinan Enrique Leme dengan membawa hadiah bagi Raja
Pajajaran. Portugis melihat posisi Sunda Kalapa strategis sebagai pelabuhan
dagang dan tempat transit bagi kapal-kapal dagang Portugis. Portugis mengadakan
perjanjian dengan penguasa setempat untuk mendirikan benteng atau pos dagang. Mereka
diterima dengan baik dan pada tanggal 21 Agustus 1522 ditandatangani perjanjian
antara Portugis dan Kerajaan Sunda Pajajaran. Perjanjian tersebut diabadikan
pada prasasti batu Padrao. Dengan perjanjian tersebut Portugis berhak membangun
pos dagang dan benteng di Sunda Kalapa. Pajajaran berharap Portugis dapat
membantu menghadapi serangan kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak dan Cirebon
seiring dengan menguatnya pengaruh Islam di Pulau Jawa yang mengancam
keberadaan kerajaan Hindu Sunda Pajajaran.
Keterangan:
Simbol Lambang penemuan dunia baru Portugis (The symbol of
discovery of the world) dalam prasasti pradao. Digunakan oleh Raja Portugal
Manuel 1495 – 1521. Pada tahun 1527
saat armada kapal Portugis kembali di bawah pimpinan Francesco de Sa dengan
persiapan untuk membangun benteng di Sunda Kalapa, namun ternyata gabungan
kekuatan Muslim Cirebon dan Demak berjumlah 1.452 prajurit di bawah pimpinan
Fatahillah, sudah menguasai Sunda Kelapa. Sehingga pada saat berlabuh Portugis
diserang dan berhasil dikalahkan. Atas kemenangannya terhadap Kerajaan
Pajajaran dan Portugis, pada tanggal 22 Juni 1527 Fatahillah mengganti nama
kota pelabuhan Sunda Kalapa menjadi Jayakarta yang berarti “kmenangan gemilang”.
Pada 13 November 1596 armada kapal
asal Belanda dibawah pimpinan Cornelis de Houtman tiba pertama kali di Sunda
Kalapa (Jayakarta) dengan tujuan yang sama dengan Portugis, yaitu mencari
rempah-rempah. Rempah-rempah pada saat itu menjadi komoditas unggulan di
Belanda karena berbagai khasiatnya seperti obat, penghangat badan, dan bahan
wangi-wangian. Para pedagang Belanda (yang kemudian tergabung dalam VOC) pada
tahun 1610 mendapat sambutan hangat dari Pangeran Jayawikarta atau Wijayakarta
penguasa Jayakarta yang merupakan pengikut Sultan Banten dan membuat
perjanjian. Belanda diijinkan membangun gudang dan pos dagang yang terbuat dari
kayu di sebelah timur muara sungai Ciliwung.
Akan tetapi pada saat itu Belanda
melihat potensi pendapatan yang tinggi dari penjualan rempah-rempah di negara
asalnya, VOC mengingkari perjanjian, bangunan gudang yang awalnya terbuat dari kayu dibangun kembali
dengan material yang kuat dan mendirikan pos dagang sekaligus benteng di
selatan Pelabuhan Sunda Kelapa pada tahun 1613. kemudian pada tahun 1618
Belanda membangun benteng. Benteng ini berfungsi sebagai gudang penyimpanan
barang, juga digunakan sebagai benteng perlawanan dari pasukan Inggris yang
juga berniat untuk menguasai perdagangan di Nusantara. Benteng tersebut
dibangun kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa.
Hingga pada tahun 1619, Jan
Pieterrzoon Coen berhasil menghancurkan kota Jayakarta (Laporan Jurnalistik
Kompas,2009: 88-89). Di atas puing-puing Jayakarta didirikan sebuah kota baru.
J.P. Coen pada awalnya ingin menamai kota ini Nieuw Hoorn (Hoorn Baru), sesuai
kota asalnya Hoorn di Belanda, tetapi akhirnya dipilih nama Batavia. Menurut
catatan sejarah, pelabuhan Sunda Kelapa pada masa awal ini dibangun dengan
kanal sepanjang 810 meter. Pada tahun 1817, pemerintah Belanda memperbesarnya
menjadi 1.825 meter. Setelah zaman kemerdekaan, dilakukan rehabilitasi sehingga
pelabuhan ini memiliki kanal sepanjang 3.250 meter yang dapat menampung 70
perahu layar dengan sistem susun sirih.
Keterangan:
Peta Batavia di sekitar tahun 1627. Di sebelah kiri gambar, yang mengarah ke
utara, terlihat Kasteel
Setelah berhasil dikuasai Belanda,
keadaan pelabuhan menjadi semakin ramai. Menurut Pramono (2005: 79) semakin
banyak kapal dagang Belanda yang berlabuh untuk membongkar muatan dan melakukan
transaksi. Kapal-kapal dagang VOC umumnya membawa muatan dari negara asalnya
untuk dijual di wilayah Nusantara, kemudian mengisi kembali kapalnya engan
muatan komoditas pertanian nusantara untuk dijual kembali ke negara asalnya.
Kapal-kapal VOC semakin ramai berdatangan ke wilayah
perairan nusantara, seiring dengan ekspansi monopoli dagang VOC di tanah air.
Bahkan setelah Belanda berhasil merebut pelabuhan Sunda Kelapa sekitar tahun
1602, yang kemudian berganti nama menjadi pelabuhan Batavia, kapal-kapal dagang
Eropa semakin mengunjungi pelabuhan tersebut (Pramono 2005: 81).
Sekitar tahun 1859, Sunda Kalapa
sudah tidak seramai masa-masa sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan pendangkalan,
kapal-kapal tidak lagi dapat bersandar di dekat pelabuhan sehingga
barang-barang dari tengah laut harus diangkut dengan perahu-perahu. Kota
Batavia saat itu sebenarnya sedang mengalami percepatan dan sentuhan modern
(modernisasi), apalagi sejak dibukanya Terusan Suez pada 1869 yang
mempersingkat jarak tempuh berkat kemampuan kapal-kapal uap yang lebih laju
meningkatkan arus pelayaran antar samudera. Selain itu Batavia juga bersaing
dengan Singapura yang dibangun Raffles sekitar tahun 1819.
Untuk mengatasi hal tersebut maka dibangunlah pelabuhan
samudera Tanjung Priok, yang jaraknya sekitar 15 km ke timur dari Sunda Kelapa
untuk menggantikannya. Hampir bersamaan dengan itu dibangun jalan kereta api
pertama (1873) antara Batavia - Buitenzorg (Bogor). Empat tahun sebelumnya
(1869) muncul trem berkuda yang ditarik empat ekor kuda, yang diberi besi di
bagian mulutnya. Sehingga hal tersebut semakin mendukung mundurnya pelabuhan
Sunda Eklapa.
2.2 Pengaruh Pelabuhan
Sunda Kalapa terhadap Batavia
Menurut Jean Gelman dalam (Basundoro, 2012:84) kota kolonial merupakan koloni-koloni yang
dikembangkan oleh para pendatang dari Eropa. Tahapan selanjutnya koloni-koloni
berkembang menjadi pusat pemerintahan
penjajahan. Pendatang Eropa yang berlabu di negara jajahan pada awalnya
bertujuan untuk berdagang, maka kota kolonial pada awalnya juga sebagai kota
dagang, mereka mendirikan gudang-gudang maupun kantor dagang (factory). Menurut McGee dalam
(Basundoro, 2012:84) terdapat tiga ciri dari kota kolonial, yaitu permukiman
stabil, memiliki garnisun dan permukiman pedagang sebagai tempat kontak dagang,
dan tempat penguasa kolonial dapat
mneyelenggarakan perjanjian dagang dengan para penguasa pribumi.
Ciri-ciri penting dari kota
kolonial adalah lokasinya terletak di dekat laut dan sungai karena para
pendatang Eropa yang para penghuni dari kota-kota tersebut, memerlukan
kemudahan supaya kapal mereka dapat mengekspor produk dari daerah yang
bersangkutan, selain itu juga dapat mengimpor produk dari Eropa. Kota kolonial
berada di tepi laut juga terkait erat dengan status mereka sebagai pendatang
dari luar wilayah, kedatangan mereka dengan menggunakan kapal di tempat itulah
mereka membangun kota sebagai basis permukiman, perdagangan dan pusat
pemerintahan. Cari penting lain dari kota kolonial adalah adanya segragasi
etnis yang merupakan bagian dari kebijakan pemerintah kolonial.
Sebagian besar oarang Eropa
mendarat di kota pantai yang sudah cukup maju dan sudah ada kekuasaan formal
dikawasan tersebut ditangan para penguasa tradisional. Kota kolonial pertama di
indonesia adalah Batavia, kota ini dibangun oleh orang-orang Belanda pada tahun
1619 dan tahun itu dianggap sebagai fase baru dalam perkembangan kota di
Indonesia. Orang Eropa yang mendarat pertama kali di Batavia bukanlah orang
Belanda melainkan para pelaut dari portugis. Pada waktu itu Batavia masih
bernama Sunda Kalapa.pada tahun 1513 empat kapal dari portugis dibawah
kepemimpinan de Alvin mengunjungi Sunda Kelapa.
Mereka datang dari Malaka yang
sebelumnya oleh Alfonso d’Albuqureque (Poesponegoro,2010:15). Pada waktu itu
Sunda Kelapa berada dalam kekuasaan kerajaan Sunda. Beberapa tahun kemudian
seorang portugis lain seperti, Enrique Leme mengunjungi Sunda Kalapa dan
bertemu dengan kerajaan Sunda yaitu Surawisesa. Ia membawa banyak hadiah untuk
raja Sunda. Kedatangan orang-orang
Portugis di Sunda Kalapa tidak sempat membangun kawasan tersebut menjadi sebuah
kota, hal ini dikatakan bahwa ortugis tidak memiliki sumbangsi apapun terhadap
perkembangan Sunda Kelapa.
Setelah bangsa Portugis berhasil
diusir nama Sunda Kalapa kemudian dirubah menjadi Jayakarta yang memiliki arti
“ kemenangan besar” pada tanggal 27 Juni 1527, dimana tanggal tersebut sampai
saat ini selalu diperingati sebagai hari kelahiran kota Jakarta. Jaringan jalan
dan sungai yang menghubungkan daerah pedalaman dan pelabuhan bandar Kalapa
mulai tumbuh dan berkembang menjadi jalur perdagangan sangat ramai.
Pelabuhan Sunda Kalapa ketika itu
berada dalam kekuasaan kerajaan Pajajaran. Pendiri pajajaran masa pemerintahan
Prabu Siliwangi sudah mengenal teknologi kelautan berupa irigasi laut, dibangun
saluran atau kanal yang menghubungkan wilayah pesisir dengan pedalaman agar
dapat dilalui kapal dengan ukuran kecil yang berfungsi sebagai transportasi
membawa hasil pertanian yang akan diperdagangkan di Bandar Kalapa (Pramono,
2005:91). Peran Bandar Kalapa sebagai bandar kerajaan telah menempati posisi
utama bagi penopang perekonomian, sehingga posisi penguasa atau adipati Bandar
Kalapa dipilih dari pembesar kerajaan seperti para mahkota atau pejabat
kerajaan Pajajaran. Keberadaan Sunda Kalapa yang strategis sebagai bandar niaga
internasional akhirnya mendorong niat penguasa lain di Jawa seperti kerajaan
Demak untuk membuat pelabuhan Sunda Kalapa, di samping itu Sunda Kalapa
terletak di perairan teluk yang cukup lebar, sehingga memungkinkan kapal-kapal
dagang dalam jumlah besar merapatkan pelabuhan Banten relatif kurang luas untuk
keperluan itu. Salah satu ciri kota yang dibangun oleh kolonial pada awal abad
ke-17 adalah gaya bangunan Eropa yang mendominasi kawasan kota.
Tipologi asitektur dan bahasa perancangan
model Eropa yang memiliki empat musim dicangkokkan langsung kawasan tropis di
Indonesia. Bangunan-bangunan yang memiliki tipologi ini antara lain adalah pos-pos
perdagangan, benteng militer, dan kota yang dilindungi oleh benteng.
Orang-orang Eropa yang baru datang di Indonesia memiliki perasaan paranoid yang
tinggi.
Terdapat ketakutan yang luar biasa terhadap penduduk asli
setempat, jika sewaktu-waktu akan menyerang mereka. Sikap paranoid terhadap
penduduk setempat dicirikan dengan dibangunannya benteng-benteng pertahanan di
hampir setiap kota yang dibangun oleh orang Eropa di Indonesia.
Di Jakarta mereka membangun
benteng yang dinamakan Benteng Batavia, yang menandakan bahwa pada waktu itu
kota tersebut merupakan kota di dalam benteng. Tembok tebal mengelilingi kota
tersebut, dan di beberapa titik dibangun bastion
(bangunan untuk mengintai musuh) yang diberi nama dengan nama kota di
Belanda. Nama-nama terssebut antara lain Bastion
Amesterdam, Middleburg, Rotterdam, Hollandia, Grimerbergen, dan lain-lain.
Pembangunan benteng yang kuat dianggap sebagai hal yang wajar karena kota
Batavia pernah dua kali diserang oleh pasukan Mataram pada masa Sultan Agung.
Di kota Surabaya orang-orang
Belanda yang pertama kali datang pada awalnya juga membangun benteng yang
diberi nama Fort (Benteng)
Retranchement. Pada masa Daendels di kota ini juga didirikan benteng yang
disebut Benteng Lodewijk. Pada masa Gubernur Jenderal van den Bosch berkuasa di
Indonesia, tepatnya pada 1835, kota Surabaya bahkan dibangun menjadi sebuah
kota yang dikelilingi oleh tembok. Di ujung timur laut didirikan benteng utama
yang diberi nama Benteng (Citadel)
Prins Hendrik yang berbentuk segi empat. Citadel
ini berada pada jarakkurang lebih 1 pal
dari laut. Tembok kota memanjang dari sisi-sisi citadel ini mengelilingi kota lama dari arah yang berlawanan untuk
kemudian bertemu lagi dibagian selatan kota pada kalimas. Citadel Prins Hendrik pada
1893 telah tidak berfungsi lagi, sehingga sebagian dari bangunan diserahkan
kepada pemerintah sipil, bahkan pada 1915 bangunan ini tergusur untuk perluasan
jalan kereta api akibat dibangunnya pelabuhan baru. pada 1917 tembok kota hanya
nampak sisa-sisanya sedikit.
Ciri lain dari kota kolonial adalah adanya perencanaan kota
yang cukup baik, sehingga secara fisik kota-kota kolonial memiliki struktur
yang lebih rapi dan teratur (Basundoro, 2012:91)sebelum Belanda membangun kota Batavia ia terlebih dahulu mempersiapkan
rencana kota Batavia dengan sebuah rancangan yang baik disebut plan de Batavia adapun gambar
perkembangan kota Batavia sebagai berikut:
Gambar rencana desain
awal pembangunan kota Batavia.
Sumber:Donald Maclaine
Campbell java:past and present (London:William
Heinemann, 1995).
` Rancangan
keberadaan kota yang baik menyebabkan dalam hal terjadinya kontras antara
kawasan kota yang dihuni orang-orang Eropa dengan kawasan kota yang dihuni oleh
orang bumiputra. Kontras tersebut sering kali ditonjolkan oleh pemerintah
kolonial Belanda bahwa permukiman Eropa memiliki standar yang lebih baik
dibandingkan dengan permukiman bumiputra. Bahkan ketika terjadi kasus
merebaknya epidemi penyakit di perkotaan, seringkali permukiman bumiputra di
perkampungan dituduh sebagai sumber dari penyebaran penyakit tersebut. Kota
kolonial biasanya dibuat mirip degan kota-kota yang ada di Eropa khususnya
adalah Belanda. Kota-kota yang berada di tepi pantai biasanya dibuat dengan
berkotak-kotak dengan jalan dan kanal sebagai batas antar blok. Sebagaimana
kota-kota yang ada di Belanda, kanal juga dimanfaatkan untuk jaringan
transportasi. Perahu yang membawa barang dari pedalaman datang dari hulu sungai
menelusuri kanal hingga sampai tempat tujuan, sedangkan kapal-kapal dari luar
negeri membongkar muatannya di pelabuhan dan memindah barangnya ke tongkang
yang biasa menulusuri jalur air dalam kota. Pemandangan semacam ini juga bisa
dilihat di kota Batavia. Seperti Belanda di Belanda, orang-orang Eropa juga
ingin tinggal di tepi kanal karena daerah tersebut biasanya lebih nyaman, elit,
dan bergengsi. Sebagian besar bangunan yang dibuat oleh orang Eropa dibuat dari
batu bata, karena untuk mencegah bahaya kebakaran, selain itu bangunan dari
beton dianggap lebih sehat.
Gambar kota Batavia
tahun 1650 sebagai kota modern pertama di Indonesia.
(sumber: Donald
Meclaine Campbell, Java and Present, London:William
Heineman, 1915)
Perkembangan perencanaan kota semakin baik pada awal abad
ke-19 ketika Raffles yang memerintah amat singkat di Indonesia (1811-1816)
membentuk Dinas Pekerjaan Umum yang pada waktu itu merupakan bagian dari
Departemen Keungan.
Pada saat Indonesia diperintah kembali oleh Belanda, Dinas Pekerjaan Umum
menjadi bagian dari Departemen Lalu-lintas Air dan Teknik Sipil dan
mempekerjakan insinyur militer (korps Zeni). Pada 1855 dibentuklah Direktorat
Pekerjaan Umum yang mandiri yang bernama Burgelijke
Openbare Werken. Lembaga ini banyak melatih para arsitek sipil dan
mengerjakan berbagai pekerjaan sipil di perkotaan, terutama bangunan
perkantoran dan sarana kepentingan umum lainnya, seperti pasar, rumah sakit,
sekolahan, sarana olaraga, makam, mercusuar, dan lain-lain. Dengan kata lain,
tugas BOW adalah mengerjakan rancangan pengembangan kota dan membangun berbagai
fasilitas umum dikota.
Puncak dari perencanaan kota-kota
di Indonesia pada masa kolonial terjadi beberapa saat setelah diundangkannya
Undang-Undang Desentralisasi (Decentralisatiewet)
pada 1903. Berdasarkan undang-undang
tersebut dibentuklah kota-kota otonom yang menyelenggarakan pemerintahannya
secara mandiri, tidak tergantung kepada pemerint pusat Batavia. Kota-kota
otonom diberi status gemeente dan
berkembang menjadi stadsgemeente pada
periode berikutnya (perkembangan pemerintah kota di Indonesia akan dibahas pada
bab tersendiri). Dengan status yang baru tersebut maka pemerintah kota diberi
keleluasaan untuk mengembangkan kotanya. Mereka berlomba-lomba mempercantik
kota mereka dengan dibantu oleh para arsitek dan para perancang kota. Biro-biro
arsitek dan perencanaan kota swasta lahir di berbagai kota. Biro arsitek swasta
yang pertama kali beridiri di Indonesia adalah Technisch Bureau Biezeld & Moojen yang berkedudukan di Bandung .
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan pelabuhan yang sangat
berpengaruh dalam perkembangan Batavia. Pada awalnya Pelabuhan Sunda kelapa
merupakan pelabuhan milik kerajaan Pajajaran. Setelah itu pelabuhan Sunda
Kelapa berhasil dikuasai oleh para koloni dari bangsa Eropa,awal nama kota di
Sunda Kalapa adalah Jayakarta, namun pada tahun 1619, Jan Pieterrzoon Coen berhasil
menghancurkan kota Jayakarta. Di atas puing-puing Jayakarta didirikan sebuah
kota baru. J.P. Coen pada awalnya ingin menamai kota ini Nieuw Hoorn (Hoorn
Baru), sesuai kota asalnya Hoorn di Belanda, tetapi akhirnya dipilih nama
Batavia.
2. Pendatang Eropa yang berlabu di negara jajahan pada
awalnya bertujuan untuk berdagang, maka kota kolonial pada awalnya juga sebagai
kota dagang, mereka mendirikan gudang-gudang maupun kantor dagang (factory). Sebagian besar oarang Eropa
mendarat di kota pantai yang sudah cukup maju dan sudah ada kekuasaan formal
dikawasan tersebut ditangan para penguasa tradisional. Kota kolonial pertama di
indonesia adalah Batavia, kota ini dibangun oleh orang-orang Belanda pada tahun
1619 dan tahun itu dianggap sebagai fase baru dalam perkembangan kota di
Indonesia. Di Jakarta mereka membangun benteng yang dinamakan Benteng Batavia,
yang menandakan bahwa pada waktu itu kota tersebut merupakan kota di dalam
benteng.
DAFTAR
RUJUKAN
Basundoro, P. 2012. Pengantar
Sejarah Kota.Yogyakarta:Ombak.
Karim, Mulyana (Ed). 2009. Ekspedisi Ciliwung: Laporan Jurnalistik Kompas Mata Air, Air Mata.
Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Poesponegoro, M.D, dkk. Sejarah
Nasional Indonesia 1V. Jakarta: PT (Persero) Penerbitan dan Percetakan.
Pramono, Djoko.2005. Budaya Bahari. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama
No comments:
Post a Comment