TUGAS
Untuk
memenuhi tugas matakuliah
Geohistori
Yang dibina oleh Bapak Blasius Suprapto, Drs. M.Hum
Oleh
Muhamad Sufyan
120732436485
UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU
SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
PROGRAM STUDI
ILMU SEJARAH
MEI 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kerajaan Singhasari yang terletak di
daerah Tumapel pertama kali dikuasai oleh Ken Angrok. Sebelumnya ken Angrok
telah merebut kekuasaan Tunggul Ametung dari Tumapel dengan cara membunuhnya.
Pada masa akhir kerajaan Kadiri, daerah Tumapel yang terletak di sebelah timur Gunung Kawi merupakan sebuah daerah yang dikepalai oleh seorangakuwu bernama Tunggul Ametung. Daerah Tumapel ini termasuk ke dalam wilayah kekuasaan raja Kertajaya (Dandhang Gendis) dari Daha Daha (Kadiri). Kedudukannya sebagai akuwu di Tumapel kemudian berakhir setelah ia dibunuh oleh Ken Angrok. Sepeninggal Tunggul Ametung, Ken Angrok lah yang menjadi penguasa di Tumapel.
Kemunculan
tokoh Ken Angrok ini kemudian menandai munculnya satu wangsa baru, yaitu wangsa
Rajasa (Rajasawangsa) atau wangsa Girindra (Girindrawangsa).
Wangsa inilah yang berkuasa di kerajaan Singhasari dan Majapahit (Soedjono,
2010:421).
Berawal dari kepemimppinan Ken
Angrok, kemudian kerajaan Singhasari berakhir pada masa pemerintahan
Kertanegara yang gugur dalam penyerangan Jayakatwang dari Kadiri. “ … pasukan
Jayakatwang yang menyerang dari arah selatan menyerbu ke keraton, dan dapat
membunuh raja Kertanegara …” (Soedjono, 2010:421).
Menurut Munandar (2010:1) “istilah ‘candi’ umumnya hanya dikenal di pulau Jawa saja. Walaupun demikian, di beberapa daerah di luar Jawa yang pernah mendapat pengaruh kebudayaan jawa, istilah candi juga dikenal sebagai nama bangunan Jawa kuna dari zaman Hindu Buddha di Nusantara”. Dari kerajaan Singhasari banyak diketemukan peninggalan berupa bangunan candi, diantaranya adalah candi Singosari, candi Jago, candi Kidal, candi Sumber Awan, dan candi Jawi. Candi-candi tersebut ditemukan tidak jauh dari wilayah kota Malang, lebih tepatnya berada dalam kabupaten Malang.
Candi Singosari ditemukan di
kecamatan Singosari Kab. Malang, pertama kali ditemukan di tengah hutan dan
tidak melalui penggalian atau ekskavasi, hal tersebut dituturkan oleh
juru kunci candi Kidal. Candi Jago
terletak di Kec. Tumpang, Kab. Malang, namun hingga saat ini candi tersebut
belum dapat direkonstruksi secara utuh. Masih di Kec. Tumpang, tepatnya di Desa
Kidalrejo ditemukan bangunan candi Kidal, saat ini candi tersebut terletak di
tengah-tengah permukiman warga. Adapun candi sumber Awan yang berbentuk stupa
terdapat si Kec. Singosari Kab. Malang, saat ini candi Sumber Awan dikelilingi
oleh hutan pinus dan taman yang indah. Tak jauh dari candi Singosari juga
terdapat sebuah arca yakni arca Dwarapala. Dalam makalah ini, penulis akan membahas
mengenai candi Kidal yang merupakan salah satu dari bangunan peninggalan
kerajaan Singhasari.
B. Deskripsi candi
Bentuk
dari Candi Kidal merupakan bentuk dari bangunan masa Jawa Timur yang berkembang
pada abad XII-XIII M. karena bangunan
yang berkembang pada abad VIII-X M yang didominasi oleh bangunan-bangunan candi
di Jawa Tengah, bentuknya tidak seperti itu. Bangunan masa candi Jawa Tengah
cenderung gemuk dan buntak (tambun), sedangkan bangunan candi masa Jawa Timur
berbentuk ramping dan tinggi.
Denah alas atau batur candinya hampir mengarah ke bujur sangkar, berukuran panjang 10,8 m, lebar 8,36 m. tinggi bangunan sekarang 12,26 m. tinggi yang sebenarnya menurut rekonstruksi di atas kertas 17 m.
Berdasarkan sisa-sisa bangunan yang terdapat di sekitar halaman, Candi Kidal memiliki pagar keliling dari batu dengan denah halaman jampir bujur sangkar. Halanan ini merupakan halaman pusat, karena sebuah percandian umumnya memiliki 3 tingkatan bangunan. Namun sejauh ini untuk Candi Kidal belum ditemukan indikasi adanya halaman yang ke 2 (tengah) dan ke 3 (luar).
Bangunan candinya terbuat dari batu andesit dengan pola pasang tidak beraturan/acak. Dahulu di depan cani terdapat sebuah bangunan tembok tepat di depan tangga pintu masuk ke ruang candi, sehingga posisinya menutupi tangga pintu masuk tersebut. Bagian pondasi dari tembok pagar ini sekarang masih ada. Fungsi dari tembok itu diduga sebagai ‘kelir’ atau ‘aling-aling’ dari bangunan candinya. Maksud dari kelir atau aling-aling tersebut secara magis adalah sebagai penangkal atau penolak dari kekuatan gaib yang bersifat negative/jahat. Dengan demikian tembok kelir atau aling-aing tersebut memiliki fungsi magis, yaitu magis perlindungan (protektif).
Denah alas atau batur candinya hampir mengarah ke bujur sangkar, berukuran panjang 10,8 m, lebar 8,36 m. tinggi bangunan sekarang 12,26 m. tinggi yang sebenarnya menurut rekonstruksi di atas kertas 17 m.
Berdasarkan sisa-sisa bangunan yang terdapat di sekitar halaman, Candi Kidal memiliki pagar keliling dari batu dengan denah halaman jampir bujur sangkar. Halanan ini merupakan halaman pusat, karena sebuah percandian umumnya memiliki 3 tingkatan bangunan. Namun sejauh ini untuk Candi Kidal belum ditemukan indikasi adanya halaman yang ke 2 (tengah) dan ke 3 (luar).
Bangunan candinya terbuat dari batu andesit dengan pola pasang tidak beraturan/acak. Dahulu di depan cani terdapat sebuah bangunan tembok tepat di depan tangga pintu masuk ke ruang candi, sehingga posisinya menutupi tangga pintu masuk tersebut. Bagian pondasi dari tembok pagar ini sekarang masih ada. Fungsi dari tembok itu diduga sebagai ‘kelir’ atau ‘aling-aling’ dari bangunan candinya. Maksud dari kelir atau aling-aling tersebut secara magis adalah sebagai penangkal atau penolak dari kekuatan gaib yang bersifat negative/jahat. Dengan demikian tembok kelir atau aling-aing tersebut memiliki fungsi magis, yaitu magis perlindungan (protektif).
Struktur
bangunan candi baik candi Hindu maupun Candi Budha mengacu kepada gambaran
gunung suci, yaitu Meru. Menurut mitologi Hindu Budha bahwa alam semesta atau
jagat raya ini berpusat pada gunung Meru yang merupakan tempat tinggal para
dewa. Oleh karena itu candi-candi dibangun sebagai usaha untuk menciptakan
gunung Meru tiruan. Dengan demikian struktur bangunan candi harus sesuai dengan
struktur Meru, yaitu ada kaki, lereng/badang, dan puncak. Karena sebuah gunung
mengandung unsur flora dan fauna, maka hiasan-hiasan pada dinding candi juga
mengandung unsur flora dan fauna. Disamping itu dihias dengan makhluk-makhuk
ajaib penghuni sorga. Semuanya itu untuk menegaskan bahwa candi merupakan
gambaran dari Meru tempat tinggal dewa.
Bangunan candi Kidal berbentuk khas
bangunan candi Jawa Timur, dengan bentuk yang ramping dan tinggi. Suwardono
(2010:10) denah alas atau batur candinya hampir mengarah ke bujur sangkar,
berukuran panjang 10,8 m, lebar 8,36 m tinggi bangunan sekarang 12,26 m. Tinggi
yang sebenarnya menurut rekostrukai di atas kertas adalah 17 m.
Berdasarkan struktur bangunannya,
candi Kidal dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
1. Bhurloka (bagian kaki)
Pada kaki candi yang berbentuk
persegi panjang terdapat anak tangga dengan lengkungna menyerupai kepala naga.
Suwardono (2010:12) kepala naga atau ular bermahkotadalam
mitologi Hindu dihubungkan dengan alam bawah yaitu air, tanah atau wanita. Di
dalam mitos kesuburan, ular dianggap sebagai kekuatan hidup dan pelindung utama
dari segala kekayaan yang terkandung di dalam tanah maupun air.
Ada pula motif hiasan berbentuk
seperti singa dank kera pada keempat bagian sudut kaki candi, masing-masing
berjumlah dua dengan posisi seperti menyangga bagian badan candi. Ada pula
fragmen relief Garudeya pada kaki candi. Relief ini digambarkan masing-masing
satu pada tiap sisi badan candi. Suwardono (2010:13) fragmen kunci ini dapat
diikuti mulai dari kaki candi sisi selatan yang menggambarkan seekor burung
garuda sedang menggendong ular-ular. Diceritakan bahwa Garudeya menggantikan
ibunya sebagai budak dewi Kadru (ibu para ular). Kemudian pada sisi kaki candi
bagian timur menggambarkan Garudeya sedang membawa sebuah guci. Fragmen ini
menceritakan bahwa para ular akan membebaskan ibu Garudeya, namun dengan syarat
agar mereka dibawakan air amerta, setelah mendapatkan air amerta dari dewa
Wisnu, Garudeya membawa guci air amerta untuk ditukarkan dengan ibunya. Fragmen
berikutnya menggambarkan Garudeya sedang menggendong ibunya.
2. Bwahloka (bagian badan)
Seperti pada candi-candi Hindu pada
umumnya, bagian badan candi Kidal terdapat ruang (relung) yang saat ini
digunakan sebagai tempat sesaji untuk menghormati Anusapati. Ambang pintu
penampil di ukir dengan hiasan dedaunan. … atasnya dihias dengan kepala kala
(Suwardono, 2010:23). Kepala kala berbentuk seperti raksasa. Hiasan itu
dimaksudkan untuk penolak bala atau penolak kekuatan jahat, pada candi-candi
lain juga terdapat hiasan kepala kala, seperti halnya dengan yang terdapat pada
candi Singosari.
Terdapat
suatu keistimewaan yang terdapat pada dinding sisi utara ini, yaitu adanya
hiasan ‘kala-parajita’ pada atas ambang pintu relung. … di atasnya terdapat
hiasan semacam lidah api atau trisula. Hiasan ini menurut Bernet Kempers
sebagai suatu gambaran dari pohon hayat. Dalam kesenian Jawa Tengah dikenal
hiasan pohon hayat ‘kalpataru’, tetapi di Jawa Timur pohon hayat itu lebih
dikenal dengan parijata (Suwardono,2010:27).
Kemudian pada sisi Timur candi
terdapat relung yang kosong. Dulunya di relung ini berisi arca Ganesya
(Suwardono, 2010:27). Pada bangunan-bangunan candi, arca Ganesya digambarkan
sebagai manusia berkepala gajah dengan perut buncit. Sikap kakinya seperti
dudukbebr sila, bertangan dua, delapan, sepuluh, dua belas, maupun enem belas.
Berikutnya relung pada sisi selatan juga kosong tanpa arca. Sebelumnya pada
relung ini bersemayam arca Siwa Mahaguru. Adapun anggapan bahwa arca tersebut
adalah Resi Agastya. Tanda-tanda dari arca ini digambarkan berwujud seorang
pertapa tua dengan rambut disanggul. Namun saat ini arca-arca tersebut berada
di Museum Royal Tropical Institute di Amsterdam.
3. Swahloka
(bagian atap)
Bagian atap pada candi Kidal
sebagian telah runtuh, terutama pada bagian pundaknya. Bentuk asli puncaknya
diduga berbentuk kubus, seperti halnya pada puncak bagian relung yang terdapat
pada badan candi. Hiasan yang terdapat di puncak candi antara lain motif
“tumpal”, yaiitu hiasan gunung terbalik yang diisi dengan sulur-sulur, motif
simbar (antefix), pelipit, serta hiasan berbentuk geometris lainnya (Suwardono,
2010:34).
C. Deskripsi Bentang Alam
Di
sekeliling candi terdapat sisa-sisa pondasi dari sebuah tembok keliling yang
berhasil digali kembali sebagai hasil pemugaran tahun 1990-an. Terdapat tangga
masuk menuju kompleks candi disebelah barat melalui tembok tersebut namun sulit
dipastikan apakah memang demikian aslinya. Jika dilihat dari perspektif tanah
sekeliling dengan dataran kompleks candi, nampak candi kompleks Kidal agak
menjorok kedalam sekitar 1 meter dari permukaan sekarang ini. Apakah dataran
candi merupakan permukaan tanah sesungguhnya akibat dari bencana alam seperti
banjir atau gunung meletus tidak dapat diketahui dengan pasti.
Dirunut dari usianya,
Candi Kidal merupakan candi tertua dari peninggalan candi-candi periode Jawa
Timur pasca Jawa Tengah (abad ke-5 – 10 M). Hal ini karena periode Mpu Sindok (abad X M), Airlangga (abad XI M) dan Kediri (abad XII M)
sebelumnya tidak meninggalkan sebuah candi, kecuali Candi Belahan (Gempol) dan Jolotundo (Trawas) yang sesungguhnya bukan
merupakan candi melainkan petirtaan. Sesungguhnya ada candi yang lebih tua
yakni Candi Kagenengan yang menurut versi kitab Nagarakretagama tempat di-dharma-kannya, Ken Arok,
ayah tiri Anusapati. Namun sayang candi ini sampai sekarang belum pernah ditemukan.
D. Deskripsi geografi
Letak Candi
Kidal berada di desa
Rejokidal, kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, sekitar 15 km dari kota Malang.
Di sekitar area candi merupakan kawasan pemukiman penduduk. Posisi Candi Kidal
sendiri, persis disamping jalan raya antara Tumpang menuju Tajinan, jadi sangat
mudah dijangkau
Secara geografis Candi Kidal berada di lempengan lereng
Timur Gunung Buring. Kawasan sekitar candi sudah padat oleh perumahan.
Sedangkan daerahnya sendiri merupakan daerah tegalan dengan tanaman kering.
Candi Kidal tenggelam di tengah kawasan perumahan. Karena halaman candinya
menorok ke dalam sekitar 50 M dari jalan raya.
Gunung Semeru sampai sekarang masih
menunjukkan status sebagai gunung berapi. Sebagai daerah yang terletak di
lereng gunung berapi, Desa Rejokidal merupakan daerah endapan lahar gunung
berapi berwama hitam kecoklat-coklatan yang kini menjadi lahan pertanian yang
subur.Di sebelah timur Candi Kidal, yang jaraknya kurang lebih 100 meter,
terdapat Sungai Brantas yang mengalir dari utara ke selatan. Di sebelah timur
aliran Sungai Brantas ini terdapat sumber air yang oleh penduduk dimanfaatkan
untuk pemandian dan mengairi sawah. Daerah sekitar sumber air tersebut
letaknya lebih rendah (kurang lebih 10 meter dari halaman candi).
Selain itu, dari tebing di sebelah timur candi
keluar rembesan air yang berasal dari tanah endapan yang dimanfaatkan untuk
memelihara ikan dalam kolam-kolam kecil. Curah hujan daerah Kidal dan sekitamya
dalam 10 tahun terakhir rata-rata berkisar 1832 mili meter tiap tahun dengan
lama hujan 114 hari, sedangkan curah hujan yang terbanyak jatuh pada tahun 1984
yakni sebesar 2563 mili meter dengan lama hujan 183 hari. Curah hujan terkecil
pada tahun 1976 yaitu sebesar 1167 milimeter dengan lama hujan 61 hari.Di
sekitar Candi Kidal terdapat berbagai tumbuhan tanaman keras yang subur seperti
pohon duku, sawo, dan rumpun bambu.
E. Pembahasan
Candi kidal di bangun sebagai bentuk
penghormatan atas jasa raja ke-dua dari singhasari yaitu anusapati. Anusapati
memerintah selama 20 tahun. Candi kidal secara arsitektur sangat kental dengan
budaya jawa timur. Candi kidal memiliki beberapa keistimewaan di banding
candi-candi lainya. Candi kidal terbuat dari batu andesit dan disekeliling
halaman candi terdapat susunan batu yang berfungsi sebagai pagar.
· Pembagian
struktur candi kidal, adalah sebagai berikut :
Bagian
kaki (upapitha)
Bagian
ini sering disebut bhorloka. Pada bagian candi dihiasi dengan ornamen-ornamen
sedangkan pada bagian pinggir tangga berbentuk melengkung dan berujung dengan
kepala naga. Kepala naga dalam metologi hindu sering dihubungkan dengan tanah
dan air sedangkan ular disebut sebagai kekuatan hidup dan pelindung utama.
Bagian
badan (vimana)
Bagian
ini disebut juga bwaahloka yang merupakan gambaran alam dan langit dibagian
candi ini tepatnya di relung sebelah kiri pintu berisi arca Mahakala yang
digambarkan sebagai dewa siwa diambang pintu terdapat pula ukir-ukiran dengan
hiasan daun-daunan dibagian ini juga terdapat kartimuka atau kepala kala yang
masyarakat pada umumnya disebut banaspati. Sayangnya pada dinding bagian
selatan kosong pada hal dulinya berisi arca Siwa guru gede selai itu ruang
candi kidal yang kosong yang didalamnya hanya berisi dupa padahal seharusnya
diruang candi kidal tersebut berisi arca siwa yang merupakan perwujudan dari
raja anusapati.
Bagian
puncak (cikhara)
Bagian
puncak candi disebut juga swahloka yang intinya menggambarkan alam suga atau
kahyangan para dewa. Dibagian puncak candi berhiaskan motif yang bersifat
tumpal atau hiasan gunung terbalik. Selain motif tumpal terdapat juga motif
tumbar dan motif pelilit. Puncak candi juga di desain dengan
tingkatan-tingkatan yang berbeda.
Atap
candi kidal puncaknya tidak runcing melainkan bentuk persegi yang permukaanya
luas. Tidak ditemukan hiasan atau stupa pada puncak candi. Sekeliling puncak
candi dihiasi dengan ukiran – ukiran bunga dan suluran suluran.
·
Makna estetika candi kidal
Seperti
diketahui candi kidal memiliki beberapa keistimewaan yang
berbeda
dengan candi – candi lainnya. Contohnya dalam hal pembacaan relief, pembacaan
relief dilakukan secara prasawya (mengirikan candi) hal itu juga yang melatar
belakangi pemberian nama candi kidal.
Nilai
estetika yang terkandung di bangunan candi kidal tercerminkan dengan adanya
beberapa relief yang mengiasi candi kidal. jika diteliti mengandung suatu
cerita yang jalan ceritanya sebagai berikut :
Sisi
selatan : Garuda dalam kekuasaan para naga. Ibu garuda masih
dalam perbudakan sang Kadru ( ibu para naga ).
Sisi
timur : Garuda telah mendapatkan amerta.
·
Sisi utara : Garuda dan ibunya
terbebas dari kadru.
Hal itu menunjukan bahwa dalam pembangunan candi tersebut
juga terdapat nilai seni yang dominan untuk member nilai estetika dalam candi
kidal. Kesenian sendiri timbul setelah keperluan pokok dalam kehidupan manusia
yaitu : pangan (makanan), papan (tempat tinggal) dan sandang (pakaian)
terpenuhi (Soetjipto,1995 : 6). Itu artinya dalam pembangunan candi tersebut
dituangkan nilai estetika atau keindahan karena dalam kepemimpinan raja
Anusapati masyarakatnya sudah sejahtera dengan terpenuhinya ketiga unsur pokok
tadi.
F. Penutup
Candi Kidal sebagai
peninggalan sejarah dan purbakala merupakan bukti autentik sebagai bentuk nyata
yang menyimpan dan memancarkan nilai serta ide-ide filosofis luhur yang pernah
dihayati oleh bangsa kita. Kini sebagai bangsa yang sedang membangun, kita
sangat memerlukan warisan itu sebagai sumber inspirasi untuk bertindak maju
mencapai cita-cita bangsa. Untuk itu diperlukan usaha-usaha pelestarian
pemanfaatan peninggalan sejarah dan purbakala tersebut agar dapat diwariskan
kepada generasi selanjutnya. Suatu peninggalan yang telah dipugar sesuai dengan
bentuk aslinya, berarti kelestariannya dapat dipertahankan. Hal ini banyak
memberi manfaat bagi pendidikan, ilmu pengetahuan, sumber sejarah, sarana
rekreasi, sosial budaya, serta sosial ekonomi.
Candi Kidal harus bebas dari corat coret yang tidak bertanggungjawab
atau vandalisme, bebas dari polusi, baik yang diakibatkan oleh meningkatnya
arus wisatawan maupun akibat meningkatnya perkembangan kependudukan. Oleh
karena itu, partisipasi masyarakat sangatlah dibutuhkan dalam upaya bersama
bangsa kita untuk melestarikan warisan budaya serta jati diri bangsaIndonesia,
sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam Undang-undang No. 5 tahun 1992 tentang
Benda Cagar Budaya.
No comments:
Post a Comment