Thursday 24 September 2015

Makalah Perkembangan seni sastra agama islam melalui Sunan Bonang



Perkembangan seni sastra agama islam melalui Sunan Bonang


MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Sejarah Indonesia Kuno
Yang dibina oleh Bpk. Deny Yudo Wahyudi, S.Pd., M.Hum.


Oleh :
Muhamad Sufyan









    UNIVERSITAS NEGERI MALAN
      FAKULTAS ILMU SEJARAH 
JURUSAN ILMU SEJARAH
FEBRUARI 2013




KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta hidayah kepada kita semua, sehingga berkat Karunia-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah ”Perkembangan Seni Sastra Agama Islam Melalui Sunan Bonang”
            Dalam penyusunan makalah ini, penulis tidak lupa mengucapkan banyak terimakasih pada Dosen. Dalam penyusunan makalah ini penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun kepada pembaca umumnya.
















DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  i

BAB I                         PENDAHULUAN
                        A. Latar Belakang Penulisan
                        B. Rumusan Masalah
                        C. Tujuan Penulisan
BAB II            PEMBAHASAN
                        A. Suluk Suluk Sunan Bonang
                        B. Tasawuf Dan Pengetahuan Diri
BAB III          PENUTUP
                        A. Kesimpulan
                        B. Saran











BAB 1
PENDAHULUHAN

A. Latar Belakang
Sunan Bonang diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke-15 M dan wafat pada awal abad ke-16 M. Ada yang memperkirakan wafat pada tahun 1626 atau 1630, ada yang memperkirakan pada tahun 1622 (de Graff & Pigeaud 1985:55). Dia adalah ulama sufi, ahli dalam berbagai bidang ilmu agama dan sastra. Juga dikenal ahli falak, musik dan seni pertunjukan. Sebagai sastrawan dia menguasai bahasa dan kesusastraan Arab, Persia, Melayu dan Jawa Kuno. Nama aslinya ialah Makhdum Ibrahim. Dalam suluk-suluknya dan dari sumber-sumber sejarah lokal ia disebut dengan berbagai nama gelaran seperti Ibrahim Asmara, Ratu Wahdat, Sultan Khalifah dan lain-lain (Hussein Djajadiningrat 1913; Purbatjaraka 1938; Drewes 1968). Nama Sunan Bonang diambil dari nama tempat sang wali mendirikan pesujudan (tempat melakukan `uzlah) dan pesantren di desa Bonang, tidak jauh dari Lasem di perbatasan Jawa Tengah – Jawa Timur sekarang ini. Tempat ini masih ada sampai sekarang dan ramai diziarahi pengunjung untuk menyepi, seraya memperbanyak ibadah seperti berzikir, mengaji al-Qur’an dan tiraqat (Abdul Hadi W. M. 2000:96-107).
Kakeknya bernama Ibrahim al-Ghazi bin Jamaluddin Husain, seorang ulama terkemuka keturunan Turki-Persia dari Samarkand. Syekh Ibrahim al-Ghazi sering dipanggil Ibrahim Asmarakandi (Ibrahim al-Samarqandi), nama takhallus atau gelar yang kelak juga disandang oleh cucunya. Sebelum pindah ke Campa pada akhir abad ke-14 M, Syekh Ibrahim al-Ghazi tinggal di Yunan, Cina Selatan. Pada masa itu Yunan merupakan tempat singgah utama ulama Asia Tengah yang akan berdakwah ke Asia Tenggara. Di Campa dia kawin dengan seorang putri Campa keturunan Cina dari Yunan. Pada tahun 1401 M lahirlah putranya Makhdum Rahmat, yang kelak akan menjadi masyhur sebagai wali terkemuka di pulau Jawa dengan nama Sunan Ampel. Setelah dewasa Rahmat pergi ke Surabaya,mengikuti jejak bibinya Putri Dwarawati dari Campa yang diperistri oleh raja Majapahit Prabu Kertabhumi atau Brawijaya V. Di Surabaya, ayah Sunan Bonang ini, mendapat tanah di daerah Ampel, Surabaya, tempat dia mendirikan masjid dan pesantren. Dari perkawinannya dengan seorang putri Majapahit, yaitu anak adipati Tuban, Tumenggung Arya Teja, dia memperoleh beberapa putra dan putri. Seorang di antaranya yang masyhur ialah Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang. (Hussein Djajadiningrat 1983:23; Agus Sunyoto 1995::48).
Sejak muda Makhdum Ibrahim adalah seorang pelajar yang tekun dan muballigh yang handal. Setelah mempelajari bahasa Arab dan Melayu, serta berbagai cabang ilmu agama yang penting seperti fiqih, usuluddin, tafsir Qur’, hadis dan tasawuf; bersama saudaranya Sunan Giri dia pergi ke Mekkah dengan singgah terlebih dahulu di Malaka, kemudian ke Pasai. Di Malaka dan Pasai mereka mempelajari bahasa dan sastra Arab lebih mendalam. Sejarah Melayu merekam kunjungan Sunan Bonang dan Sunan Giri ke Malaka sebelum melanjutkan perjalanan ke Pasai. Sepulang dar Mekkah, melalui jalan laut dengan singgah di Gujarat, India, Sunan Bonang ditugaskan oleh ayahnya ntuk memimpin masjid Singkal, Daha di Kediri (Kalamwadi 1990:26-30). Di sini dia memulai kariernya pertama kali sebagai pendakwah.
Ketika masjid Demak berdiri pada tahun 1498 M Sunan Bonang untuk menjadi imamnya yang pertama. Dalam menjalankan tugasnya itu dia dibantu oleh Sunan Kalijaga, Ki Ageng Selo dan wali yang lain. Di bawah pimpinannya masjid agung itu berkembang cepat menjadi pusat keagamaan dan kebudayaan terkemuka. Tetapi sekitar tahun 1503 M, dia berselisih paham dengan Sultan Demak dan memutuskan untuk meletakkan jabatannya sebagai imam masjid agung. Dari Demak Sunan Bonang pindah ke Lasem, dan memilih desa Bonang sebagai tempat kegiatannya yang baru. Di sini dia mendidirikan pesujudan dan pesantren. Beberapa karya Sunan Bonang, khususnya Suluk Wujil, mengambil latar kisah di pesujudannya ini. Di tempat inilah dia mengajarkan tasawuf kepada salah seorang muridnya, Wujil, seorang cebol namun terpelajar dan bekas abdi dalem kraton Majapahit (Abdul Hadi W. M. 2000:96-107).
Setelah cukup lama tinggal di Bonang dan telah mendidik banyak murid, dia pun pulang ke Tuban. Di sini dia mendirikan masjid besar dan pesantren, meneruskan kegiatannya sebagai seorang muballigh, pendidik, budayawan dan sastrawan terkemuka sehingga masa akhir hayatnya, Dalam sejarah sastra Jawa, Sunan Bonang dikenal sebagai penyair yang prolifik dan penulis risalah tasawuf yang ulung. Dia juga dikenal sebagai pencipta beberapa tembang (metrum puisi) baru dan mengarang beberapa cerita wayang bernafaskan Islam. Sebagai musikus dia menggubah beberapa gending (komposisi musik gamelan) seperti gending Dharma yang sangat terkenal. Di bawah pengaruh wawasan estetika sufi yang diperkenalkan para wali termasuk Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, gamelan Jawa berkembang menjadi oskestra polyfonik yang sangat meditatif dan kontemplatif. Sunan Bonang pula yang memasukkan instrumen baru seperti rebab Arab dan kempul Campa (yang kemudian disebut bonang, untuk mengabadikan namanya) ke dalam susunan gamelan Jawa.

Karya-karya Sunan Bonang yang dijumpai hingga sekarang dapat dikelompokkan menjadi dua: (1) Suluk-suluk yang mengungkapkan pengalamannya menempuh jalan tasawuf dan beberapa pokok ajaran tasawufnya yang disampaikan melalui ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat dalam kebudayaan Arab, Persia, Melayu dan Jawa. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain (Drewes 1968). (2) Karangan prosa seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya yang tekun. Bentuk semacam ini banyak dijumpai sastra Arab dan Persia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja Suluk dari sunan bonang ?
2. Apa tasawuf dan pengetahuan diri ?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar kita dapat mengetahui tentang Suluk suluk  di Indonesia, salah satunya yaitu Suluk Sunan Bonang dan member wawasan serta ilmu lebih kepada pembaca.
Agar kita tidak lupa dengan peninggalan peninggalan/seni sastra islam, untuk itu kita harus mempelajari sejarah di Indonesia dengan tekun supaya kita tidak melupakan sejarah masa kuno.



BAB II
PEMBAHASAN

          A. Suluk suluk sunan bonang
            Sebagaimana telah dikemukakan suluk adalah salah satu jenis karangan tasawuf yang dikenal dalam masyarakat Jawa dan Madura dan ditulis dalam bentuk puisi dengan metrum (tembang) tertentu seperti sinom, wirangrong, kinanti, smaradana, dandanggula dan lain-lain . Seperti halnya puisi sufi umumnya, yang diungkapkan ialah pengalaman atau gagasan ahli-ahli tasawuf tentang perjalana keruhanian (suluk) yang mesti ditempuh oleh mereka yang ingin mencpai kebenaran tertinggi, Tuhan, dan berkehendak menyatu dengan Rahasia Sang Wujud. Jalan itu ditempuh melalui berbagai tahapan ruhani (maqam) dan dalam setiap tahapan seseorang akan mengalami keadaan ruhani (ahwal) tertentu, sebelum akhirnya memperoleh kasyf (tersingkapnya cahaya penglihatan batin) dan makrifat, yaitu mengenal Yang Tunggal secara mendalam tanpa syak lagi (haqq al-yaqin). Di antara keadaan ruhani penting dalam tasawuf yang sering diungkapkan dalam puisi ialah wajd (ekstase mistis), dzawq (rasa mendalam), sukr (kegairahan mistis), fana’ (hapusnya kecenderungan terhadap diri jasmani), baqa’ (perasaan kekal di dalam Yang Abadi) dan faqr (Abdul Hadi W. M. 2002:18-19).
Faqr adalah tahapan dan sekaligus keadaan ruhani tertinggi yang dicapai seorang ahli tasawuf, sebagai buah pencapaian keadadaan fana’ dan baqa’. Seorang faqir, dalam artian sebenarnya menurut pandangan ahli tasawuf, ialah mereka yang demikian menyadari bahwa manusia sebenarnya tidak memiliki apa-apa, kecuali keyakinan dan cinta yang mendalam terhadap Tuhannya. Seorang faqir tidak memiliki keterpautan lagi kepada segala sesuatu kecuali Tuhan. Ia bebas dari kungkungan ‘diri jasmani’ dan hal-hal yang bersifat bendawi, tetapi tidak berarti melepaskan tanggung jawabnya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Sufi Persia abad ke-13 M menyebut bahwa jalan tasawuf merupakan Jalan Cinta (mahabbah atau `isyq). Cinta merupakan kecenderungan yang kuat terhadap Yang Satu, asas penciptaan segala sesuatu, metode keruhanian dalam mencapai kebenaran tertinggi, jalan kalbu bukan jalan akal dalam memperoleh pengetahuan mendalam tentang Yang Satu (Ibid). Sebagaimana puisi para sufi secara umum, jika tidak bersifat didaktis, suluk-suluk Sunan Bonang ada yang bersifat lirik. Pengalaman dan gagasan ketasawufan yang dikemukakan, seperti dalam karya penyair sufi di mana pun, biasanya disampaikan melalui ungkapan simbolik (tamsil) dan ungkapan metaforis (mutasyabihat). Demikian dalam mengemukakan pengalaman keruhanian di jalan tasawuf, dalam suluk-suluknya Sunan Bonang tidak jarang menggunakan kias atau perumpamaan, serta citraan-citraan simbolik. Citraan-citraan tersebut tidak sedikit yang diambil dari budaya lokal. Kecenderungan tersebut berlaku dalam sastra sufi Arab, Persia, Turki, Urdu, Sindhi, Melayu dan lain-lain, dan merupakan prinsip penting dalam sistem sastra dan estetika sufi (Annemarie Schimmel 1983: ) Karena tasawuf merupakan jalan cinta, maka sering hubungan antara seorang salik (penempuh suluk) dengan Yang Satu dilukiskan atau diumpamakan sebagai hubungan antara pencinta (`asyiq) dan Kekasih (mahbub, ma`syuq).
Drewes (1968, 1978) telah mencatat sejumlah naskah yang memuat suluk-suluk yang diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau Pangeran Bonang, khususnya yang terdapat di Museum Perpustakaan Universitas Leiden, dan memberi catatan ringkas tentang isi suluk-suluk tersebut. Penggunaan tamsil pencinta dan Kekasih misalnya terdapat dalam Gita Suluk Latri yang ditulis dalam bentuk tembang wirangrong. Suluk ini menggambarkan seorang pencinta yang gelisah menunggu kedatangan Kekasihnya. Semakin larut malam kerinduan dan kegelisahannya semakin mengusiknya, dan semakin larut malam pula berahinya (`isyq) semakin berkobar. Ketika Kekasihnya datang dia lantas lupa segala sesuatu, kecuali keindahan wajah Kekasihnya. Demikianlah sestelah itu sang pencinta akhirnya hanyut dibawa ombak dalam lautan ketakterhinggaan wujud.
Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang menceritakan kisah-kisah kerohanian para wali dan pengalaman mereka mengajarkan kepada orang yang ingin memeluk agama Islam. Suluk ini cukup panjang. Sunan Bonang juga menceritakan pengalamannya selama beradadi Pasai bersama guru-gurunya serta perjalanannya menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Karya yang tidak kalah penting ialah Suluk Gentur atau Suluk Bentur. Suluk ini ditulis di dalam tembang wirangrong dan cukup panjang.  Gentur atau bentur berarti lengkap atau sempruna. Di dalamnya digambarja jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk mencapai kesadaran tertiggi. Dalam perjalanannya itu ia akan berhadapan dengan maut dan dia akan diikuti oleh sang maut kemana pun ke mana pun ia melangkah. Ujian terbesar seorang penempuh jalan tasawuf atau suluk ialah syahadat dacim qacim. Syahadat ini berupa kesaksian tanpa bicara sepatah kata pun dalam waktu yang lama, sambil mengamati gerik-gerik jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran dan keunikan Tuhan. Garam jatuh ke dalam lautan dan lenyap, tetapi tidak dpat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang ke dalam kekosongan (suwung). Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana’ tidak lantas tercerap dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan atau kewujudan jasmaninya.

           





B. Tasawuf dan Pengetahuan diri
            Secara keseluruhan jalan tasawuf merupakan metode-metode untuk mencapai pengetahuan diri dan hakikat wujud tertinggi, melalui apa yang disebut sebagai jalan Cinta dan penyucian diri. Cinta yang dimaksudkan para sufi ialah kecenderungan kuat dari kalbu kepada Yang Satu, karena pengetahuan tentang hakikat ketuhanan hanya dicapai tersingkapnya cahaya penglihatan batin (kasyf) dari dalam kalbu manusia (Taftazani 1985:56). Tahapan-tahapan jalan tasawuf dimulai dengan‘penyucian diri’, yang oleh Mir Valiuddin (1980;1-3) dibagi tiga: Pertama, penyucian jiwa atau nafs (thadkiya al-nafs); kedua, pemurnian kalbu (tashfiya al-qalb); ketiga, pengosongan pikiran dan ruh dari selain Tuhan (takhliya al-sirr).
Istilah lain untuk metode penyucian diri ialah mujahadah, yaitu perjuangan batin untuk mengalah hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi dari jiwa yang menguasai jasmani manusia (‘diri jasmani’). Hasil dari mujahadah ialah musyahadah da mukasyafah. Musyahadah ialah mantapnya keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada Yang Satu, sehingga pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati. Mukasyafah ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam kalbu.
Penyucian jiwa dicapai dengan memperbanyak ibadah dan amal saleh. Termasuk ke dalam ibadah ialah melaksanakan salat sunnah, wirid, zikir, mengurangi makan dan tidur untuk melarih ketangguhan jiwa. Semua itu dikemukakan oleh Sunan Bonang dalam risalahnya Pitutur Seh Bari dan juga oleh Hamzah Fansuri dalam Syarab al-`Asyiqin (“Minuman Orang Berahi”). Sedangkan pemurnian kalbu ialah dengan membersihkan niat buruk yang dapat memalingkan hati dari Tuhan dan melatih kalbu dengan keinginan-keinginan yang suci. Sedangkan pengosongan pikiran dilakukan dengan tafakkur atau meditasi, pemusatan pikiran kepada Yang Satu. Dalam sejarah tasawuf ini telah sejak lama ditekankan, terutama oleh Sana’i, seorang penyair sufi Persia abad ke-12 M. Dengan tafakkur, menurut Sana’i, maka pikiran seseorang dibebaskan dari kecenderungan untuk menyekutuhan Tuhan dan sesembahan yang lain (Smith 1972:76-7).
Dalam Suluk Wujil juga disebutkan bahwa murid-muridnya menyebut Sunan Bonang sebagai Ratu Wahdat. Istilah ‘wahdat’ merujuk pada konsep sufi tentang martabat (tinbgkatan) pertama dari tajalli Tuhan atau pemanifestasian ilmu Tuhan atau perbendaharaan tersembunyi-Nya (kanz makhfiy) secara bertahap dari ciptaan paling esensial dan bersifat ruhani sampai ciptaan yang bersifat jasmani. Martabat wahdat ialah martabat keesaan Tuhan, yaitu ketika Tuhan menampakkan keesaan-Nya di antara ciptaan-ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Pada peringkat ini Allah menciptakan esensi segala sesuatu (a’yan tsabitah) atau hakikat segala sesuatu (haqiqat al-ashya). Esensi segala sesuatu juga disebut ‘bayangan pengetahuan Tuhan’ (suwar al-ilmiyah) atau hakikat Muhammad yang berkilau-kilauan (nur muhammad). Ibn `Arabi menyebut gerak penciptaaan ini sebagai gerakan Cinta dari Tuhan, berdasar hadis qudsi yang berbunyi, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku cinta (ahbabtu) untuk dikenal, maka aku mencipta hingga Aku dikenal” (Abdul Hadi W. M. 2002:55-60). Maka sebutan Ratu Wahdat dalam suluk ini dapat diartikan sebagai orang yang mencapai martabat tinggi di jalan Cinta, yaitu memperoleh makrifat dan telah menikmati lezatnya persatuan ruhani dengan Yang Haqq.
           
Pengetahuan Diri, Cermin dan Ka’bah
Secara keseluruhan bait-bait dalam Suluk Wujil adalah serangkaian jawaban Sunan Bonang terhadap pertanyaan-pertanyaan Wujil tentang aka yang disebut Ada dan Tiada, mana ujung utara dan selatan, apa hakikat kesatuan huruf dan lain-lain. Secara berurutan jawaban yang diberikan Sunan Bonang berkenaan dengan soal: (1) Pengetahuan diri, meliputi pentingnya pengetahuan ini dan hubungannya dengan hakikat salat atau memuja Tuhan. Simbol burung dan cermin digunakan untuk menerangkan masalah ini; (2) Hakikat diam dan bicara; (3) Kemauan murni sebagai sumber kebahagiaan ruhani; (4) Hubungan antara pikiran dan perbuatan manusia dengan kejadian di dunia; (5) Falsafah Nafi Isbat serta kaitannya dengan makna simbolik pertunjukan wayang, khususnya lakon perang besar antara Kurawa dan Pandawa dari epik Mahabharata; (6) Gambaran tentang Mekkah Metafisisik yang merupakan pusat jagat raya, bukan hanya di alam kabir (macrokosmos) tetapi juga di alam saghir (microcosmos), yaitu dalam diri manusia yang terdalam; (7) Perbedaan jalan asketisme atau zuhud dalam agama Hindu dan Islam.











BAB III
PENUTUP
            A. Kesimpulan
            Sunan bonang mempunyai peranan penting bagi agama islam, salah satunya yaitu menyebarkan isalm melalui seni sastra yang berkembang di nusantara, dan yang pasti masyarakat dahulu sangat terhibur karena hingga kini kita bisa mendengar tembang-tembang dari salah satu sunan yang ada di wali songo.
            B. Saran
            Demikianlah makalah ini kami persembahkan dan hanya sebatas inilah kemampuan penulis menyusun makalah. Semoga para pembaca terutama dosen dapat mengambil manfaat dari makalah ini.
            Saran dan kritiknya yang sifatnya membangun dari semua pihak terutama teman seperjuangan di perguruan tinggi Universitas Negeri Malang serta dari dosen yang sangat harapkan, dan semoga makalah ini memberi manffat yang sangat banyak.
           












                                                                             
LAMPIRAN BUKTI

DAFTAR RUJUKAN
            de Graff, H. J & Pigeaud, T.H.. (1985). Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Demak. Jakarta: Grafitti Press dan KITLV.
            Abdul Hadi W. M. (1981). “Beberapa Informasi Tentang Sastra Madura”. Sronen No.2, September 1981:11-15.
            Abdul hadi WM. Sunan Bonang, “ Perintis dan Pendekar Sastra Sulik’’ Tulisan lepas, 1993,.
            Perdetik.blogspot.com/apresiasi-terhadap-tradisi-dan-upacara.

No comments:

Post a Comment